cerpen DENTING BAOBALA DI BULAN JULI
Cerpen:
DENTING BAOBALA DI BULAN JULI
( Oleh: Joni Liwu )
Administrasi pembelajaran yang harus dimiliki seorang guru belum seluruhnya
kusiapkan. Masih kuingat erpepe yang merupakan rencana pembelajaran guru itu
harus direvisi. Beberapa hari yang lalu, kudapatkan revisi erpepe terbaru dari
seorang sahabatku. Ia mengingatkan jika, erpepe itu erpepe revisi terbaru,
sehingga aku harus melengkapi. Dan itu masih tertinggal tiga erpepe lagi. Pukul
dua puluh tiga mala mini bukanlah waktu yang tepat. Dentuman musik dari hajatan
nikah di samping rumah sangat mengusik untuk bisa mengerjakan administrasi
guru.
Belum
lagi admnistrasi lainnnya direvisi, telepon genggamku berbunyi. Saya coba
membiarkannya, karena harus melihat beberapa
adminsitrasi guru lainnya. Semua adminsitrasi ini terangkum dalam buku
satu, buku dua, buku tigas, dan buku empat.
“ Semuanya harus disiapkan karena
akan disupervisi di awal hari kerja tahun pelajaran yang baru,” demkian kepala
sekolahku saat mengiktui rapat akhir tahun.
Memang
ini menjadi kewajiban. Aku bersyukur dapat memahami administrasi guru secara
lengkap melalui kegiatan work shop di sekolahku. Namun suatu ketika saat
bertanya pada rekan guruku di sekolah lain, mereka malah tidak mempersiapknya,
entah buku satu, dua, tiga pun empat.Yang
penting bagi mereka jika erpepe
sudah ada, ditambah dengan Prota dan Promes. Belum selesai kuperiksa satu per satu, telepon genggamku berdering. Ini
untuk yang kedua kali.
“Rupanya ada yang sangat penting,” gumamku dalam hati
ketika melihat nama dan nomor si penelepon. Moan memanggil,Tertulis di layar telepon
genggamku. Seorang bapak di kampung halaman. Seorang bapak yang hari-harinya
menguras otak dan otot di ladang tak seberapa luasnya.Mengolah ladang warisan
ayahandanya entah beberapa tahuan lamanya. Secara ilmu, tentu unsur hara
tanamannya sudah tidak tersedia alias tandus. Tandus untuk ditanami padi dan
jagung, walau pada hampir sebagian kebunnya telah ditanami kakao.Sementara pada jarak tertentu ditanami
kelapa. Dalam kebun hampir sehektar itu tumbuh beberapa tanaman komoditi atau
umur panjang lainnya. Dan pada kebun itu pula setiap musim penghujan, akan
ditanami padi dan jagung. Ia pun berkisah jika, hasil panenan padi dan jagung
tidak seberapa. Ia tidak berharap banyak akan hasil panenan padi dan jagung,
tetapi berharap beberapa tahun mendatang, sudah bisa memanen kakao, bahkan
beberapa pohon kelapa.
“ Apa yang disampaikan?’’ hati
masih bertanya, karena jarang ia
menelponku.
Moan di kampung dituakan.
Dipercayakan dalam rumpun keluarga memimpin komunitas keluarga dari satu
turunan atau yang disebut suku. Dan ia
menjadi kepala suku itu.Ia harus menjadi seorang kepala yang tidak hanya
memikirkan soal asap dapur keluarga, pendidikan anak tetapi lebih dari itu,
segala urusan tetang adat di suku tersebut. Kulihat rambutnya telah berwarna.
Hampir sebagian telah uban walau sebenarnya
usianya masih lebih mudah dibanding beberapa sanak keluarga yang lebih
tua darinya.Misainya pun demikian, sehingga ia tampak lebih tua.Walaupun
demikian, ia menerima kepemimpinan itu dengan iklhas.
“Jika ia yang meneleponku, tentu
ada sesuatu yang yang sangat penting,”
gumamku dalam hati.
Moan memang kepala suku. Masih
kuingat di halaman samping rumah, ada sebuah rumah panggung berukuran empat kali lima meter. Rumah itu sebagai
rumah suku. Di situ dilaksanakn ritual adat selain menjadi tempat untuk
membicarakan hal-hal yang menjadi permasalahan dalam kekerabatan suku.
Ukurannya memang tidak terlalu luas. Ada sebuah meja dari kayu dan beberapa
kursi meligkarinya. Tidak semua orang bisa memasuki rumah kecil itu. Demikian
pun hanya bisa dibuka jika hendak membicarakan hal-hal yang sangat penting.
Kucoba
meraih telepon genggamku. Mengusapkan layarnya untuk menerima telepon tersebut.
Terdengar samar-samar dan suara itu terputus-putus karena signal. Tetapi bunyi
kicau beurung terdengar dari balik suara itu. Indah kubayangkan suasana yang
menyelimutinya. Dalam ketenangan dibuai alam, dan burung-burung pun menemani
kehidupannya.
“Ini tentu bukan di rumah,”
terlintas di benakku.
“Di rumahnya ia tidak memelihara
burung,” pkirku selanjutnya.
Tetapi suara terputus-putus,
sehingga aku belum mengetahui maksud
pembicaraannya. Kubayangkan betapa sulitnya berkomunikasi di saman ini,
sedangkan usia republikku ini sudah tujuh puluh empat tahun. Waktu yang cukup
matang untuk berbenah. Waktunya ia berdandan, bahkan telah menjadi matang,
sehingga urusan kumonukasi sudah harus
lancar. Apalagi cerita sahabatku, jika dalam kampaye pilpres bebarapa bulan
sebelumnya, ia mendengar jika salah satu kandidat menjanjikan pembangunan di
bidang komunikasi hingga bisa menjangkau hampir seluruh wilayah yang
berkepulauan ini.Apakah mungkin baru menjanjikan? Atau memang pembangunan
jaringan telepon sedang dikerjakan.
Aku mencoba memahami pesannya
yang tidak kedengaran seluruhnya itu, dengan berkali-kali menanyakannya. Hampir
dua puluh menit pembicaraan kami, baru
kupahami maksudnya. Ia mengajakku berlibur ke kebunnya. Seperti biasa, sebagai
kepala suku, tahap akhir panenan selalu berkahir di kebunnya. Tahap akhir
panenan yang disebut Kebek bakur. Sebuah
ritual adat sebagai bentuk ungkapan syukur atas panenan setahun. Dalam ritual
itu, sebagai kepala suku ia akan melalukan sejumlah ritual sebelum menurunkan
bulir-bulir padi yang tersimpan di pondok untuk dijejakkan hingga biji-biji
padi terlepas dari bulirnya. Hal menjejakkan inilah yang membutuhkan kerja sama
dari sanak keluarga yang diundang saat kebek
bakur tersebut,
Aku ingat betul, jika memisahkan
padi dari bulirnya dilakukan dengan berbagai cara.Tetapi untuk urusan kebek bakur, itu pasti dilakukan dengan bao bala. Dan dalam acara tersebut,
setiap yang hadir akan melagukan Bao
bala, sebagai pengiring dan penyemangat kerja. Kebek Bakur itu adalah ritual adat, sedangkan hal memisahkan biji
padi dari bulirnya disebuit ri’. Hal
memisahakan biji padi dari bulir-bulirnya itu dilakukan dengan
mendendangkan Baobala, di mana kaki disentakan secara berirama di atas tikar yang
sudah ditebar bulir-bulir padi. Baobala
dilakukan dengan menjejakkan kaki sekuat-kuatnya tetapi berirama.
Menjejajakkannya dilakukakn hingga biji-biji padi terlepas dari bulirnya.
Sepanjang biji padi belum terlepas seluruhnya, sepanjang itu pun Baobala belum berkahir.
Dua tahun silam Moan pernah mengajakku ke kebunnya. Dan di
sana acara kebek bakur ini
dilaksanakan. Setiap tahun, setelah seluruh sanak keluarganya menyelesaikan ri’ maka yang terkahir pasti dikebunnya.
Apalgi karena ststusnya sebagai kepal suku.Seperti biasa ia harus menyiapkan
segala sesuatu dalam ritual adat tersebut termasuk hewan sembelian.
Ia mengisahkan kepada kusetelah
semua sanak keluarganya telah kembali. Di sekitar pondoknya masih terlihat
beberapa bakul berserakan.Memang banyak bakul disiapkan, tetapi sebagian telah
diisi dengan padi kemudian diberikan kepada sanak keluarga yang membantunya.Dan
memang itu telah menjadi kebiasaan sanak keluarga di kampungnya. Itu sebagai
ungkapan terima kasih.Betapa kubayangkan berapa banyak bakul berisi padi yang
harus diberikan kepada sanak keluarga yang membantu, sedangkan semua hadir
telah disuguhi sarapan hingga makan bersama. Memang ini sebuah ritual adat yang
juga merupakan pesta panen bersama.
Di salah satu sudut pondoknya,
pada tiang pondoknya, tergantung sebuah teren. Teren tersebut dibuat dari sebuah ruas bambu berukuran sedang.Teren itu sebagai wadah menyimpan
sadapan nira yang disebutnya sebagai tua’.
Itu sebagai minuman khas, atau suguhan bagi tetamu atau undangan. Apalagi dalam
urusan panenan. Ia pun meraih wadah tersebut juga wadah kecil lainnya
menyerupai gelas. Di atas meja dari bambu
ia menyajikannya minuman itu. Sambil menengak tua’, ia terus mengisahkan hasil panenan yang tidak cukup, tetapi
ia tetap bangga atas hasil kerja. Dan lebih dari itu, walaupun hasilnya cukup,
tetapi ia masih bisa memberikannya
kepada sanak keluarga.
Alkohol dari tua’ sepertinya mempengaruhi ingatanya, sehingga ia pun terus
mengisahkan tetang Baobala. Lagu yang
membudaya dari leluhurnya.
“Baobala itu sendiri sebagai warisan budaya leluhur.
Dilagukan berpasang-pasangan. Baolaba
diawali dengan pengantar yang disebut
Oret yang dilagukan bebera baris. Diakhir Oret itu, pasangan-pasangan
berikutnya harus merangkainya
dengan sebuah baris kalimat
dengan empat kata yang disebut paen. Paen itu sendiri merupakan kata-kata
metaforis. Sehingga sebuah larik yang dilagukan itu sebenarnya diksi yang
bermetaforis,” aku mendengarkan penjelasannya dengan cermat.
Masi pula kuingat kala sadapan
nira di gelasnya dihabiskan. Semakin ia meneguk sadapan nira tersebut,
sepertinya oret dan paen meluncur dengan sendirinya dari
mulutnya. Kulihat di wajahnya, sebagai orang yang sangat menghargai budaya
warisannya. Ia bahkan kadang menyanyikan setelah penat bekerja seharian. Dan di
pondok sepih dan tenang itu, serasa ia sangat menikmati Baobala seperti lagu-lagu yang sedang populer.
“Ala bisa karena biasa,”gumamku.
Tetapi tidak semua orang bisa
mendaraskan oret. Kebanyakan orang
yang turut dalam baobala hanya bisa
melagukan paen dibanding oret. Paen
tidak saja dihafal, tetapi pasangan yang ber-baobala pun harus melagukan dengan tepat sesuai paen dari pasangan sebelumnya. Ibarat
berbalas pantun, maka setiap rangkaian paen
antara satu pasangan dengan pasangan lainnya membentuk sebuah jalinan cerita
yang utuh. Jika disimak dengan baik, dalam satu rangkaian antara oret dan paen, membentuk sebuah jalinan cerita. Semua yang hadir akan memahami dengan saksama temanya bahkan
pesan. Sungguh sebuah kekhasan budaya sastra lisan yang tetap terjaga, dan
memiliki nilai yang patut digaungkan dan diwarisi. Dan baobala akan tetap bergema pada musim panen.
Ketika ia menengak sadapan nira,
ia pun tak hentinya-hentinya memberi contoh. Jamuan ubi rebus dan sayuran dari
kebun terasa alami di mulutku. Siapapun akan dapat membedakan hidangan tanpa
penyedap rasa dan sebaliknya. Tetapi sajian di kebun itu, serasa membawaku
kembali mengarungi kisah hidup empat puluhan tahun silam. Sajian apapun
bentuknya hanya dengan garam sebagai penyedap rasa. Sehingga garam menjadi
sebuah kebutuhan yang harus dibeli ketika berbelanja ke pasar yang berjarak
belasan kilometer.
Ia pun melanjutkan kisah tentang
baobala. Sepertinya belum lengkap jika belum menyampaikan larik bermetafora
lagi berkonotasi itu. Ia pun memberi contoh oret
yang kaya makna itu.
Pu pu e mai,
me me e bawo.
Mai pliput genu ipun, mai boer genu teban.
Genu teban lema likot,
genu ipun tama namang
Sebait ungkapan ini disebut oret atau pengantar. Dan pasangan-pasangan selanjutnya sudah mulai menyambungnya dengan paen-paen yang tepat karena paen-paen
itu harus bertalian makna. Ia menjelaskan jika oret di atas bermakna, ajakan kepada sanak keluarga untuk bersatu
padu, yang diibaratkan dengan kesatuan kawanan ikan di lautan juga nener di
sungai.
Ia begitu memahami baobala, walau warisan budaya itu tak
perna tertulis. Baobala dengan oret dan paen seolah menjadi santapan lezat kala pesta panen. Baobala tak perna lekang oleh waktu. Aku
pun tak hendak menanyakan paen-paen
yang sesuai dengan oret di atas,
namun ia langsung medaraskanya.
‘Pati tadan ladur habun.
Godo rongon ripa ira.
Sile ira dira lima.
Lamen hai wain blaan. Bati rani poto plikut.
Doler luat doler waun,”sambunya.
Itu menurutnya hanya
beberapa,Sebenarnya masi banyak lagi paen yang mengadung nilai-nilai sosial,
religi, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
“Kalau yang ini larik lebih
bermakna berkasih-kasihan di kalangan remaja,” ia menjelaskan dengan rinci.
Sesekali ia menarik napas panjang. Terlihat guratan di dahinya. Ia seolah masih
memikirkan sejumlah larik bermetafora lainnya.Tentu tidak saja hal berkasih-kasihan
tetapi lebih dari itu. Hal bijak lainnya yang tersantun dari paen-paen untuk kehidupan. Oret dan paen syarat makna. Semuanya hanya bergema kala Baobala dilitanikan.
Suara jangkrik mengingatkan kami
jika hari mulai senja. Kulihat mentari tak lagi menyisahkan sebersit sinarnya
walau di atas dedaunan pada pepohonan yang memagari kebunnya. DI lereng gunung
di sebalahnya, asap mengepul dari sebuah pondok kecil. Itu pratanda, pemilik
kebun hendak kembali ke rumahnya. Kepulan asap untuk menghalau binatang liar,
agar ubi dan pisang tetap terawatt walau ditinggalkan malam hari
Keremangan menyelimuti pondok dan
ladagnya. Moan pun membereskan segalanya. Hari itu telah mengisahkan padaku
tentang kata-kata bijak dari baobala.
Kata bijak jadi pijakan untuk mengarungi setapak perjalanan yang masih tersisah. Tetapi baobala tetap hidup di sanubari Moan dan seaamanya. Ia tetap hidup
karena diwariskan generasi yang sangat bangga melestarikannya. Dia tetap
menjadi syair hidup yang kepopulerannya tak akan meranggas kala musim gersang.
Ia hidup dari waktu ke waktu, seolah tak membiarkan pewarisnya dihimpit
kegersangan, tetapi tetap membiarkan pewarisnya tersenyum ria kala memanen
hasil ladang dari tanah warisan leluhur. Senja di bulan Juli itu mengukir kisah
beraneka, meronai kehidupan anak cucu Moan, agar ia tetap melitanikan kebesaran
Sang Kuasa yang melimpahkan berkah di hari- hari hidupnya. ***
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!