cerpen GERAH DI ATAS TROTOAR
Cerpen:
GERAH DI ATAS
TROTOAR
( Oleh: Joni Liwu )
Penghujung April, bumi masih menghijau oleh dedaunan karena hujan
beberapa pekan. Namun terik seolah sedang memanggang. Kota ini memang lengang
lantaran proptokol covid -19. Selain bekerja di rumah, larangan bepergian juga
menjadikan kota ini sepih dari orang- orang
sekedar berjalan-jalan, atau anak-anak muda yang senang noingkrong di
jalanan. Akan terdengar suara anak-anak muda setelah magrib, itu pun tidak
lama. Pemerintah kota ini sering melakukan inspeksi hampir ke setiap jalan.
Memang tidak main-main dengan virus yang mewabah hampir ke segenap penjuru
dunia, bahkan memakan korban ribuan.
Juani, guru sebuah SMP Negeri, semenjak bangun pagi,
sudah berada di depan laptop. Ia hendak merampung nilai akhir. Sesekali ia
harus membuka daftar hadir kegiatan pembelajaran, jurnal penialian sikap.
Baginya itu menjadi hal yang sangat penting untuk merampungkan nilai akhir
karena musim pandemic covid-19, Penilaian Akhir Semester tidak dilaksanakan. Walaupun demikian, ia
telah merekap nilai Penilaian Harian dan
Penilaian tengah Semester. Dua nilai ini sudah cukup baginya.Tinggal beberap
nama siswa lagi nilai itu akan rampung.
“Bapa, kita ke pasar,” ajak
isterinya.
Juani masih terdiam. Ia hendak
menyelesaikannya tugas rumahnya ini. Oleh karenanya, ia belum mnejawab
pertanyaan isterinya. Sejenak kemudian, isterinya mengajak lagi. Ia melihat
kalau isterinya sudah berkemas. Ada keranjang belanja di tangan kanannya,
dompet di tangan krinya.
“Itu berarti, ia telah siap,”
gumam Juani dalam hati.
Memang jam dindingnya sudah
menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Ia akhirnya menyimpan
analisis nilai di laptopnya. Segera mengambil kunci kontak dan menstarter
motor.Kendaraan roda dua yang ditumpangi Juani bersama isterinya kini berada di
depan kios penjuak beras. Namun, isterinya memilih untuk membeli sekilo beras
pada kios yang bersebelahan. Praktis saja motor yang dikendarai sumainya itu
berada di depan warung yang juga penjual beras.
Agak lama, isterinya berbelanja
di kios yang berseberangan karena terlihat penjual sangat sibuk melayani
pembeli. Lima menit berlalu belum juga isterinay bertransaksi dengan penjual.
Juani tetap mengamatinya dari seberang. Juani dan kendaraan roda duanya tepat
di atas trotoar, tepat di depan kios penjual beras.
“Bapak, mau kemana?” tanya Kae, penjaga kios bersa tersebut.
Kae memang sejak beberapa pecan
lalu berjualan di situ. Memang lapak jualannya terlihat masih baru. Terpal
penutupnya juga demikian. Orang - orang di sekitarnya selalu memanggilnya Kae.
Ia termasuk orang yang temperamen. Hampir terjadi keributan di tempat itu
karena berselisih paham dengannya. Mungkin karena itu pula, isteri Juani, Rany,
tidak ingin berbelanja di kios Kae.
“Menuggu isteri berbelanja ,”
jawab Juani.
“Bapak menutup pandangan orang
kalau berbelanja di kios saya,” jawab
Kae.
Juani yang semenjak parker
menutup wajahnya dengan masker dan helm, mebuka penutup kepala sambil
menyampaikan permohonan maaf. Ia mengeserkan kendaraan roda duanya agak ke
depan sekitar 1 meter. Tetapi parkiran itu masih menutup sedikit tempat
jualannya.
“Namun tersedia tempat yang cukup
agar orang bisa mengkases kios Kae,” pikir Juani dalam hati.
“ Bos, itu juga menutup pandangan
orang jika berbelanja minyak tanah,’ ujar Kae sambil menunjuk beberapa jeriken
lima liter yang berjejer di atas trotar, tepat di depan barang jualannya lain.
“Sebaiknya, agak menjauh!”
lanjutnya.
Beberapa penjual di sekitarnya saling menatap. Mereka rupanya sudah mengetahui jika
penyakit amarah kae kumat. Beberapa di antaranya melihat Juani sambil
menggangguk, pratanda mengajak Juani agar agar menjauh.
Juani mengalami kesulitan, karena
di situ tidak ada tempat parker. Kalaupun ia harus berpindah dari tempat itu
cukup jauh, sekitar dua puluh meter di depannya lagi, sedang isterinya tidak
lama berbelanja menurutnya.
“Sebentar saja, tidak lama,”
jawab Juani.
“Walaupun sebentar tetapi menutup
padangan orang lain,” jawab kae suara meninggi.
Juani merasa dipermainkan kae. Ia tidak
kehabisan akal. Bagimana seorang guru, dimarahi seorang pedagang di tempat
keramaian.Baginya, ia tidak memarkir kendaraan di tempat jualan Kae. Akan
sangat salah jika ia memarkir kendaraan dalam tempat jualan. Tempat jualan itu
menjadi haknya, tetapi trotoar menjadi
milik banyak orang.Toh, itu menjadi jalan bagi pejalan kaki. Kae sendiri
menggunakan trotoar untuk meletakannya barang jualannya. Itu berarti kae telah
mengmabil hal orang lain di trotoar ini.
Sebagai seorang guru, ia hendak
memberi pemahaman kepada orang lain tentang hak dan kewajibannya. Juga tentang
trotoar. Ia mendekati kae. Kini mereja berdua berhadapan muka.Tanpa
berlama-lama Juani menimpali Kae dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Bapak, saya moohn maaf. Apakah saya parkir di dalam kios Bapak?”
Pertanyaannya menyukut Kae.
“Tapi menutup pandangan orang.”
“Bapak belum menjawab pertanyaan
saya.Apakah saya memarkir kendaraan saya di dalam kios Bapak?”
Adu argument antara kedua
menyebakan keributan, sehingga beberapa orang yang sedang berbelanja
mengerumini.
“Saya parkir di trotoar, bukan di
dalam kios Bapak. Bukankah Bapak juga sudah menggunakan badan trotoar untuk
menenmpatkan barang julan Bapak?” suara Juani mulai meninggi.
“Ya, tapi selama ini hanya oirang
yang berbelanja boleh parker di situ,” kata Kae sambil menunjuk motor yang diparkir Juani.
“Bapak perlu tahu, bahwa ini
trotoar, bukan kios Bapak,” Juani sekali lagi menjelaskan untuk kae.
Terik kian memanas. Beberap
pengunjung pasar tak bersuara. Beberapa orang mengangguk-angguk kepalanya.
Entah apa yang dipikirkan. Apakah mereka memahami penjelasan Juani atau
argument Kae.
Memang sering terjadi keributan
di kios Kae soal parkir, atau bahkan karena tranksaksi jual beli yang gagal.
Kadang pula karena harga tak disepakati kemudian pembeli beralih ke penjual
lain di sekitarnya, maka hal itu memicu adu mulut antara Kae dan pembelinya.
Jawaban terkahir kae bahwa hanya
boleh parker di depan kiosnya jika hendak berbelanja di kiosnya, meyakinkan
Juani bahwa kae cemburu karena isterinya berbelanja di kios seberang, sedangkan
barang yang dibeli tersedia pula di kiosnya. Juani sepertinya belum lengkap
memberi penjelasan kepada Kae. Belum lagi beberaoa orang yang sedang
mengerumini kegaduhan itu berkata kalau ka sering mebuat gaduh walaupun
masalahnya sangat sepele.
“Bapak, saya harap Bapak jangan
cemburu karena isteri saya berbelanja di kios seberang. Membeli atau tidak
membeli itu selera pembeli,” jelas Juani.
Situasi di terik siang itu ditambah kerumunan orang
membuat kae tak sanggup lagi menjawab pertanyaan Juani.
“Bapak, hargai orang lain jika
Bapak ingin dihargai. Tidak seperti ini menghardik orang apalagi di kerumunan
seperti ini, “ ujar Juani mengurui.
Mandor pasar yang mendengar
keributan itu mendekati kios Kae. Ia mengetahui permasalahan itu dari pembeli
dan penujual yang sejak tadi berada di tempat itu.
“Bapak-bapak, ini soal salah
paham. Saya harap bapak berdua menyelesaikannya tanpa harus membuat kegaduhan
karena akan mengganggu orang lain, apalagi kelancaran lalu lintas di pasar
ini,” kata Mandor pasar itu sambil menunjuk antrean kendaraan di kerumunan tersebut.
“Bagaimana , apakah bapak-bapak
bisa menyelesaikannya?” tanya mandor pasar itu.
“Jika kae tidak mau
menyelesaikannya, saya hendak melanjutkannya ke kantor polisi. Ia telah
mencemarkan nama baiknya di hadapan banyak orang,” jawab Juani, waau sebenarnya
ia juga tidak memahami apakah tiadakan Kae itu termasuk hal pencemaran nama
baik.
Kae yang meilhat kehadira mnador
tak berkata sedikitpun. Apalagi telah berkali-kali ia ditegur oleh mandor pasar
soal keributan.
“Saya hendak melaprokan hakini ke polisi, agar diselesaikan
secara hukum,” kata Juani kepada Kae.
Kae tak menjawab sepatah kata
pun. Ia menyadari jika dilanjutkan berarti urusannya semakin rumit. Itu berarti
ia harus mengorbankan waktunya untuk berjualan. Kali ini ia seperti mendapat
batunya. Berkali-kali ia memperlaukan para pembeli, tetap baru kali ini ia tak
mampu menjawab pertanyaan seorang pembeli. Ia menyadari akan kekhilafannya.***
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!