DEMI ANAK

 

DEMI ANAK

( Y. Joni Liwu, S.Pd )

 

Satu lagi pencapaian sebagai sebuah kebanggaan tersendiri. Bersama 41 guru di Indonesia atas prakarsa seorang guru menulis Teguh Wahyu Utomo, 41 karya berwujud tulisan dibukukan. Buku ber- ISBN yang diterbitkan oleh Penerbit Wahana Resolusi Yogyakarta ini berkisah tentang anak,siswa-siswi. Tentu saja bukan soal profil peserta didik yang hari-hari ini belajar di rumah, tetapi lebih kepada pesan-pesan yang mesti digaungkan kepada anak-anak demi kehidupannya di kemudian hari. Semua tulisan itu pun terangkum dalam buku berjudul  DEMI ANAK. Judul buku tersebut telah memberi pesan tentang sesuatu yang dipersembahkan kepada anak-anak untu kehidupan di kemudian hari.

Sang editior, Teguh Wajyu Utomo dalam tulisan pembukaan buku dengan 264 halaman tersebut berargumen tentang judul buku  tersebut. Bahwa secara demografis statistic popolasi manusia menunjukkan  26 % berusia di bawah  14 tahun. Jika ukuran usia ditambah jadi 25 tahun,  maka angkanya jadi 30 %. Sementara 8 % populasi berusia di atas 65 tahun. Sisanya, uisa kerja antara 25 -65 tahun. Menurut penulis buku yang sudah makan garam ini, seperempat merupakan angka yang cukup signifikasn dari total populasi. Dalam 10 -20 tahun mendatang, yang seperempat ini memasuki usia kerja. Mereka bergerak diberbagai sektor kehidupan. Mereka membuat keputusan dan melaksanakan.  Mereka menentukan masa depan.

Bahwa persembahan buku ini untuk kehidupan anak di kemudian hari walaupun tidak harus dibaca seorang anak, atau dengan kata lain dibaca  orang tua atau guru,  editor buku ini mendasarkannya berdasarkan pendapat para atnropolog, piskolog, juga penyair. Antropolog budaya Amerika Margaret Mead misalnya menasihatkan bahwa anak-anak harus diajari bagaimana cara berfikir, bukan apa yang difikir. Dengan tahu cara berfikir, anak akan mudah beradaptasi dengan pergantian zaman demikian pun ia cepat mencari solusi saat mendapat masalah.

Novelis Barzil, Paulo Coelho, demikian yang dikutip,  bahwa anak bisa mengajari orang tuanya tentang tuga hal. Pertama, menjadi bahagia begitu saja tanpa harus ada alasan tertentu. Kedua, menjadi selalu bisa menyibukkan diri dengan apa saja. Ketiga,  mengetahui bagaimana memburu seseuatu dengan apa yang bisa didapatkan atas buruan yang ia layak dapatkan.

Simpulan sang editor, adanya anak-anak membuat kehidupan kita menjadi lebih bermakna. Anak-anak menjadi sumber-sumber tak ternilai dalam kehidupan. Anak-anak menjadi energi yang membangkitkan semangat kita.

Buku DEMI ANAK berisi letupan-letupan perasaan sang guru tentang anak, anak sendiri pun anak-anak pada umumnya. Bahwa mereka mengapalami betapa susahnya mendapatkan seorang anak, susahnya mengasuh anak, masalah-masalah mengasuh anak hingga mendapatkan solusi.  Selain itu, juga mengungkapkan keistimewaan-keistimewaan memiliki anak demikianpun kewajiban sebagai orang tua yang patut dilakukan di hari-hari mendatang. Penulis yang adalah para pahlawan tanpa tand jasa dari seluruh Indonesia ini menyampaikan pengalaman, fakta dari kehidupannya; juga  pandangan-pandangan pribadi tentang anak. Semua tentu berdasarkan pengalaman kesehariannya di rumah dan sekolah tempat ia mengabdi.

Di antara puluhan judul tulisan ini, saya coba mengusung tulisan sederhana berjudul KECIL TAPI BESAR. Ada sebuah sentuhan bagi pembaca agar membiasakan anak melaksanakan sebuah kebiasaan sebagai salah satu protokol kesehatan yang sering dilupakan. Menurut saya, sesuatu yang luar biasa bermula dari sebuah pembiasaan.DEMI ANAK, menurut saya, buku layak dibaca siapapun, kapanpun.

Menjadi menarik bahwa kisah para guru ini menjadi sebuah pembelajaran. Di satu sisi para guru belajar menulis di era pandemi, tetapi juga hendak mengisahkan kepada para guru bahwa saat-saat pademi yang memberi ruang dan waktu yang begitu luas, para guru dapat membuktikan bahwa mereka adalah penggerak literasi yang kini digaungkan pemerintah. Mungkinkan kita hanya mampu menjadi penonton di saat bangsa sedang giat menggerakan literasi? Semoga  pegiat-pegiat literasi bangsa tidak terlena dalam dekapan covid 19 yang selalu mengintai. Kini saatnya bukan nanti.

 Kupang, 16 November 2020



 


 






 

 

 

 

 

Komentar