PARIWISATA DALAM PANDANGAN EKOLOGISDAN BUDAYA ORANG HEWS
PARIWISATA DALAM
PANDANGAN EKOLOGIS DAN BUDAYA ORANG HEWA
Oleh Petrus Kleruk Liwu ( Alm )
Pengantar
Tulisan ini
merupakan tulisan Almahrum Petrus Kleruk Liwu, seorang pegiat pariwisata asal
Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Beliau
bertempat tinggal di Waiara, sebuah
daerah Pariwisata di Kapaten Sikka. Berbekal pengalaman sebagai pemandu,
ia kemudian mendirikan PT. Alam Komodo
Flores Tours (Tour Oprerator & Travel
Service). Ia kemudian menggagas wisata food untuk menggerakan ekonomi
warga di sekitar waiara di masa pandemi Covid 19. Usaha itu pun berjalan belum
setahun jagung, setelahnya maut telah menjemputnya. Tulisan ini, sebagai salah
tulisannya yang kami gagas bersama untuk dibukukan. Sebuah sumbangan pikiran
tentang membangun desa Hewa dengan cara pandang setiap penulis. Berdasarkan
latar belakang profesinya, ia kemudian menuangkan gagasannya beruwujud tulisan
yang sedang Anda baca ini. Sebuah tulisan yang bernas walau ia tidak pernah
belajar jurnalistik. Yang saya tahu, ia adalah seorang otodidak. Dalam beberapa
kesempatan, ia selalu merendah untuk belajar tentang menulis. Semangat belajar
itu tidak saja pada sektor pariwista yang digelutnya, tetapi juga tentang
menuangkan gagasan-gagasan secara tertulis.
Saya memiliki
tanggung jawab moril untuk menyampaikannya kepada pembaca pada umunya, dan
orang Hewa khususnya walaupun ia kini telah menhadap Sang Kuasa; dan menjadi
beban moril pula bila saya tidak menyampaikan buah pikirannya memlalui media
sosial.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pariwisata dalam
pandangan masyarakat lokal, meskipun sudah, dan sedang berjalan saat ini namun
masih menjadi sebuah diskursus yang secara kasat mata dipandang sebagai sebuah bisnis
yang hanya menguntungkan sebagian orang atau individu yang menjalankan
usahanya, seperti rumah makan, penginapan dan juga melalui usaha kerajinan
tangan. Kelompok - kelompok sadar wisata yang di bentuk di desa melalui program
pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism) di mana masyarakat
lokalnya sendiri yang menjadi pemeran utama di pasar diharapkan mampu
memperbaiki ekonomi melalui sektor pariwisata, selain pertanian yang memang
selama ini telah mengurat akar dalam kehidupan kita. Dalam Pemerintahan otonomi
daerah, pusat telah memberikan
kewenangan khusus kepada pemerintahan daerah dalam hal ini pemerintahan desa
untuk menjadi penentu kebijakan utama di dalam membangun desanya sendiri dimana
sektor pariwisata menjadi salah satu alternatif yang diharapkan mampu
mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat di desa. Desa Hewa, di Kecamatan
Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur,
memiliki keunikan
budaya, adat dan istiadat serta alam yang indah dengan ekosistem laut dan darat
yang melimpah adalah suatu kekayaan hayati yang luar biasa yang harus disyukuri
sebagai suatu anugrah Ilahi yang mesti selalu dijaga dan dilestarikan oleh
semua masyarakat desa Hewa sendiri.
Pariwisata, sesuai
pengertiannya merupakan sebuah bidang ilmu yang cakupannya sangat uas. Menurut
(Kodhyat 1998) pariwisata merupakan perjalanan dari suatu tempat ketempat yang
lain, yang bersifat sementara, dilakukan perorangan atau kelompok, sebagai
usaha mencari keseimbangan dan kebahagiaan dengan lingkungan dalam dimensi
sosial, budaya dan alam serta ilmu. Pariwisata yang berasal dari kata Pari dan
Wisata (bahasa Sansekerta) yang berarti berjalan mengelillingi suatu daerah
tertentu dengan tujuan menikmati
keindahan. Maka secara keseluruhan pariwisata identik dengan sebuah
keindahan. Dengan kata lain, orang berwisata bukan ke tempat - tempat yang
kumuh dan jorok tetapi mencari suatu keindahan untuk menemukan sebuah
ketenangan jiwa.
Dalam filsafat
estetika, jika dikaitkan dengan ilmu
pariwisata maka keduanya saling berkaitan satu sama lain. Estetika adalah seni
yang menggambar tentang suatu keindahan tidak hanya pada karya seni manusia
tetapi juga expresi kekaguman terhadap sebuah keindahan yang digambarkan
melalui karya Allah lewat alam semesta yang kita jumpai setiap saat. Maka
keindahan itu penting dalam kehidupan kita karena mewakili nilai-nilai kita.
Nilai-nilai itu indah karena mereka menentukan tindakan kita melalui kehidupan.
Budaya seni kita menentukan identitas kita. Tarian Sakalele adalah sebuah seni
yang menjadi identitas orang Hewa. Ritual adat pleba watar, ea uran wair
dan
lain-lain itu juga merupakan
bagian unik dari budaya yang menentukan identitas kita. Begitu juga keindahan
alam pantai Rako, Ilin Wuko dan Lewotobi, tidak hanya sebatas keindahan
pemandangannya tetapi juga segala ekosistem yang ada di dalamnya, termasuk babi
rusa, burung - burung di udara, dan binatang - binatang liar lainnya serta ikan- ikan di laut juga
merupakan kekayaan alam yang indah yang menjadi daya tarik wisatawan nusantara
dan mancanegara. Itulah karya alam yang kemudian dipadukan dengan karya seni
manusia sehingga menjadi sebuah objek yang menarik untuk dinikmati.
Oleh karena itu, sesuai
dengan maknanya sebagai suatu nilai seni maka kaum penikmat seni (estetikus)
tidak menginginkan suatu kehancuran atas keindahan nilai seni yang di miliki
oleh orang Hewa. Dalam konteks budaya, kita adalah pencipta karya seni seperti
seni tari, seni musik traditional, seni suara, dan pada suatu waktu kita juga
akan menjadi seni ukir dan seni pahat seperti orang Bali, meskipun itu bukan
menjadi budaya asli kita. Kita sebagai pencipta seni (the art maker) tetapi
kita telah kehilangan jati diri kita sebagai orang Hewa karena kita menggunakan
produk - produk dari luar seperti sarung Sa'En
Waher tidak lagi di pakai generasi sekarang, Pute Noru dianggap sebagai sesuatu yang kolot primitif.
Dalam konteks ekologi,
kita telah menghancurkan sebagian habitat alam yang dahulu kita anggap suara
mereka adalah nyanyian alam yang merdu.
Perburuan liar menggunakan senjata moderen telah menggancurkan ekosistem
alam. Penebangan hutan secara massive menghancurkan tempat hunian mereka. Danau Se yang dahulu menjadi tempat
bersemayamnya awan tebal di atas pohon - pohon besar mengakibatkan burung -
burung unik yang menjadi daya tarik wisatawan sekarang hilang entah kemana. Ribuan
ekor burung kakatua di Pantai Rako yang dilindungi negara pun punah entah
kemana. Desa Hewa telah kehilangan satu nilai keindahan oleh karena keserakahan
kita sendiri. Belajar dari pengalaman
inilah maka pemerintah menciptakan sebuah program Community Based Tourism untuk
mengajak seluruh masyarakat Indonesia khususnya orang Hewa tercinta untuk
kembali kepada budaya asli, mempertahankan nilai nilai keindahan dan keunikan
kita agar tidak tergerus oleh budaya moderen. Pemerintah dalam pandangannya
konservatif melihat bahwa perlu dan dengan sesegera mungkin dilakukan revolusi
mental melalui program pembentukan kelompok - kelompok sadar wisata agar sumber
daya manusia dibentuk sesuai pemahaman konservasi yang diprogramkan pemerintah
melalui kelompok ini agar kita tidak kehilangan budaya asli kita termasuk
budaya Tabe Telan terhadap leluhur
yang telah mewariskan kita begitu banyak kearifan lokal yang mesti kita jaga
dan kita lestarikan.
Coba kita telusuri
kembali beberapa tokoh sejarah kita seperti Moan
Klateng Soge (yang menjadi cikal bakal suku Soge Mading Aijawan). Moan Mahing Rotan (yang memulai penjelajahan lewat berburu hewan
liar secara traditional hingga membuat batas - batas wilayah desa Hewa mulai
dari Boru Kedang hingga Kokang Tana Gajon).
Moan Katan dan Moan Getan - dua pria
yang menjadi saksi sejarah perbatasan wilayah tanah Hewa dan Boru Kedang di
sebelah timur dan Kokang di sebelah barat.
Sejarah peradaban masa
lalu tentang batas - batas wilayah Natar Hewat begitu luar biasa syarat akan
makna historis, sebuah perjuangan untuk menguasai wilayah tanpa ada pertumpahan
darah tetapi melalui sebuah kebijaksanaan yang luar biasa atas dasar tabe
telan. Sejarah Huu Bubuk Wara Bekor
di mulai ketika Moan Klateng Soge
dalam penjelajahannya dari pantai hingga ke gunung bersama 2 ekor anjing
kesayangannya Supu dan Suru tiba di sebelah barat Boru Kedang (Nale Wutun) mengetahui
bahwa tuannya sedang haus lalu pergi mengorek tanah dan mendapatkan air lalu
pulang memberitahukan
kepada tuannya bahwa ia telah menemukan air. Dan betapa bijaksananya orang -
orang di sekitar wilayah itu (Nale Wutun,
lokasi bagian sebelah timur gunung Wuko bersebelahan dengan Boru Kedang)
menyerahkan wilayah itu kepada Moan
Klateng Soge. Keturunan yang di sebut Soge
Mading Aijawan pun dimulai dari situ.
Huu
Bubuk Wara Bekor.
Sungguh luar biasa. Para leluhur itu membuat batas - batas wilayah tanah.Perburuan itu pun
kemudian menyejarah sebagai sebuah cerita tetang batas-batas wilayah yang
selalu dituturkan kepada genera-generasi Desa Hewa, di Kecamatan Wulangitang,
kabupaten Flores Timur.
Diceritakanbahwa dengan sebuah pengorbanan besar walau bukan
lewat pertumpahan darah tetapi melalui sebuah explorasi secara fisik. Dilakukan dengan ara yang cukup cerdik
untuk menguasai wilayah dengan mengikat ketupat berisi abu dapur lalu pergi
memburu hewan liar sambil mengikuti jejak kaki anjing dan abu dapur yang tumpah sepanjang
anjing itu berlari. Batas wilayah pedesaan pun mengikuti jejak anjing dengan
abu dapur sepajang Gunung Wuko di sebelah utara hingga tepian pantai sebelah
barat Bukit manuk.
Tinjauan Ekologis
Dalam pandangan
pariwisata secara ekologis, segala makhluk hidup yang ada di bumi ini di
ciptakan untuk di nikmati. Menikmati tidak hanya dengan mencicipi tetapi juga
menikmati dengan memandang atau menyaksikan. Di barat orang tidak membunuh
hewan liar karena itu di lindungi oleh negara. Pemerintah punya aturan untuk
berburuh dan setiap orang harus memiliki surat ijin berburuh dengan jumlah
buruan di batasi. karena jika kedapatan membunuh hewan liar akan di beri sangsi
dengan membayar denda. harus ini selalu merespon setiap perbuatan
kita.Kita menyadari bahwa alam semesta ini telah memberi kepenuhan dalam segala
hal. Tetapi kita tidak menyadari bahwa alam semesta juga merespon setiap
perbuatan kita jika kita tidak peduli kepadanya. Tentu kita berhak untuk menguasai
alam dan segala isinya, tetapi
kita juga punya kewajiban untuk menjaga dan melindungi seluruh ekosistem yang
ada di darat dan laut agar tetap memberikan kehidupan yang berkesinambungan
bagi kita.. Sebaliknya jika kita serakah maka kita siap menerima berbagai
ancaman seperti bencana alam dan non bencana alam seperti virus corona yang
juga merupakan bagian dari kemurkaan Ama
Lero Wulan Ina Nian Tana. Kita belajar dari pengalaman pandemi Covid-19
yang mengakibatkan hilangnya pendapatan
negara miliaran Rupiah dari sektor pariwisata dan juga jutaan umat manusia di
dunia kehilangan pekerjaan karena perusahaan perhotelan, restoran, biro
perjalanan wisata, tempat hiburan, penerbangan antar negara serentak ditutup
demi menghentikan penyebaran pandemik Covid 19.
Semua itu adalah akibat
dari perbuatan manusia. Keserakahan yang membawa kita kepada suatu kehancuran
yang membuat kita terus berpikir, apakah kita tetap dengan keegoan kita atau
harus merubah mindset atau pola pikir kita untuk hidup berdamai dengan alam
supaya pariwisata yang kita andalkan nanti sebagai leading sektor bagi
pertumbuhan ekonomi di desa kita setelah pertanian dapat hidup kembali.
Inilah tantangan besar
bagi masa depan kita khususnya Desa
Hewa. Maka, untuk menghadapi tantangan masa depan Natar Hewat Lewo Rotan Guhi Natar Gahar, kita butuh generasi muda
yang kreatif dan berdaya guna, yang mampu membawa desa Hewa ke tingkat nasional
lewat sektor pariwisata. Pantai Rako kiranya menjadi tumpuan bagi perekonomian kita kelak. Jika
Lewotana mengijinkan maka nama Pantai Rako akan harum di seantero nusantara dan
mancanegara. Itu tugas besar dan berat bagi generasi muda desa Hewa khususnya
dan semua pihak yang berkecimpung di dalamnya.
Semua kembali kepada
kita yang memulai, kita yang merintis demi masa depan Desa Hewa yang jaya dan
makmur. Semoga🙏
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!