POSITIF DAN NEGATIF, DUA KUTUB SIMALAKAMA
POSITIF DAN NEGATIF, DUA KUTUB SI MALAKAMA
Oleh: Yoh. Joni Liwu, S.Pd
Sebuah
istilah yang menjadi momok di masa pandemi covid 19 ini adalah positif. Jika
disematkan pada seseorang setelah mengikuti Tes Cepat Molekuler (TCM), polymerase chain
reaction (PCR), maupun rapid test. Pemberitaan terhadap
jenzah covid yang belum tentu kebenarannya semakin menakutkan masyarakat. Belum
lagi mobil ambulance yang meraung tak tentu waktu dalam barisan mobil-mobil
penghantar jenazah, menjadikan situasi hari-hari ini bak dunia hampir kiamat.
Larangan berkumpul entah dalam hajatan keluarga juga beribadah turut pula
memberi andil betapa covid itu cukup menyeramkan. Prediksi pakar epidemologi
yang memperkirakan puncak covid pada pertengahan tahun ini, tentu lebih
menuntut kesiapsiagaan seluruh bangsa. Mematuhi protokol covid dalah sebuah
keharusan.
Kembali kepada gonjang-ganjing soal positif dan
negatif. Tanda positif dan negatif yang
pertama adalah sebuah tanda dalam matematika, sehingga dapat disebut
angka positif dan negatif. Bagi seorang siswa Sekolah Dasar ( SD ) misalnya,
dikonkretkan dengan garis bilangan, kemudian titik tengah garis bilangan itu
ditentukan dengan angka nol. Selanjuntya, semua angka yang berurutan di sebelah
kiri itu adalah angka negatif. Sebaliknya, angka-nagka berurutan sebelah kanan
adalah angka-angka positif. Suatu ketika, anak saya kemudian bertanya, mengapa
di sebelah kiri itu negatif, atau dengan kata lain mengapa angka positif tidak
berada di sebelah kiri. Agar jawaban tidak mengecewakan, saya hanya menjawab
itu sebuah konsensus atau kesepakatan. Atau jika diingat-ingat pelajaran di masa
Sekolah dasar ( SD ), bapak ibi guru selalu mengajarkan bila angka-angka yang
lebih besar dari nol itu positif, sedangkan lebih kecil dari nol itu negatif.
Lalu rumusan itu tetap dihafal hingga kemudian seseorang baru memahami
kebenarnya setelah dewasa.
Dalam hal penerusan keturunan misalnya angka
positif dan negatif juga menjadi sebuah pergumulan. Sepasang suami isteri yang
baru menikah yang hendak mempunyai momongan tentu tidak berharap jika tes
kehamilannya negatif. Keceriaan dan kegembiraan menyelimuti sebuab keluarga
jika ultrasonography (USG) dinyatakan kositif. Positif dalam hal ini
menyeringai lubuk hati, serasa penasaran seperti apa buah cintanya kelak. Oelh
karena itu, bisa saja sepasang keluarga itu akan mempersiapkan segalanya, dari
nama bahkan segala kelengkapannya. Tetapi bisa menjadi bencana atau malapetaka
jika USG yang dilakukan itu negatif. Jika saja saling pengertian maka hasil USG
yang negatif tidak merunyamkan kebahagiaan keluarga, sebaliknya berupaya secara
medis atau lainnya agar mereka bisa memperoleh keturunan.
Dalam konteks komunikasi sosial hampir sering
kita mendengarkan rumusan dampak positif atau dampak negatif. Orang cenderung
mengambil hikmah dari sesuatu atau sebuah perilaku yang berdampak positif
dibanding negatif. Lebih jauh, dengan mengetahui dampak negatif setiap orang
akan meminimalisir sikap atau perilaku
yang berdampak negatif. Atau dengan kata lain, dampak negatif sangat
tidak nyaman bagi siapa pun jika itu merupakan hal ikutan dari ikhtiar yang
dilakukan seseroang atau sekelompok masyarakat.
Lain halnya
jika kedua istilah itu disematkan pada covid 19. Siapapun orangnya
sangat berharap jika tes molekuler (RNA atau PCR ) anitgen, atau antibodi
menunjukkan negatif. Terlepas dari berapa lama hasil yang diperoleh dari tiga
jenis tes tersebut, orang sangat berharap jika hasil tes negatif. Siapapun
tentu tidak ingin jika hasil tes itu positif. Sebenarnya bukan soal jenis virus
ini bisa terobati, tetapi bahwa stigma seseorang terinfeksi corona virus itu berujung
pada kematian maka hampir dipastikan pasien hari-hari ini lebih memilih berdiam
di rumah dibanding berobat ke rumah sakit. Bahkan terhadap pasien sekarat
sekalipun keluarga tak berkehendak mengobatinya ke rumah sakit. Sungguh memilukan,
walau sebenarnya jika ke rumah sakit akan mendapat perawatan lebih intensif.
Situasi hari-hari ini di kala jenzah yang
dinyatakan covid sebelum hasil tes diketahui semakin merunyamkan.Masyarakat
berasumsi jika seorang pasien dirujuk ke rumah sakit pasti docovidkan.belum
lagi jika pasien itu memiliki penyait bawaan semisal asma. Asumsi-asumsi ini
mengerucut kepada ketidakpercayaan kepada petugas kesehatan sampai pada asumsi
jika covid 19 dipolitiasi. Hal itu hingga berujung pada ketidakpercayaan
masyrakat untuk divaksin.
Berdasarkan survey yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI,
WHO, dan UNICEF pada 12 November 2020 dengan total responden 115 ribu,
mendapati sebagian besar (53%) masyarakat percaya kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam
mendapatkan informasi terkait vaksinasi. Dari data tersebut dapat pula
dijelaskan bahwa sekitar 47 % masyarakat tidak percaya kepada tenaga medis.
Pemerintah melalui dinas terkait tentu berupaya semaksimal mungkin memberikan
pemahaman saksama tentang vaksin. Tidak saja dengan memberi perintah atas dasar
peraturan tetapi sosialisasi dengan metode-metode persuasif agar masyarakat
dapat divaksin.Sebagimana survei yang dilakukan Reuters ( kantor berita yang
bermarkas di London) pada 4 – 21 Januari 2021. Dari 470.000 respoden di seluruh
dunia, disimpulkan bahwa Secara umum,
kebanyakan orang mulai mempercayai khasiat vaksin. Dua pertiga di antaranya
menyatakan keyakinan kuat atau sedang. Sementara 12% lagi mengaku tidak percaya
sama sekali. Dua pertiga lainnya meyakini secara penuh bahwa vaksin penting untuk
kesehatan mereka.
Kita pun bisa mengurai dampak positif. Secara
sederhana, setiap orang dibiasakan mencuci tangan. Anjuran mencuci tangan
sebelum masa pandemi ini malah menjadi bermakna di masa kini. Setiap rumah
selalu menyiapkan air untuk mencuci tangan, dan ini tentu merupakan hal yang
sangat positif. Semua orang selalu menjaga jarak ketika berkomunikasi. Bukankan
itu pun sebuah kesantutan yang patut dipertahankan. Yang agak janggal yakni harus bermasker saat berkomunikasi,
tetapi untuk mencegah virus karena droplet atau cairan air yang terpercik saat
berbicara semakin menyadarkan orang bahwa masker itu sarana yang penting di
mana pun kita berada.
Beberapa hal lainnya seperti social distancing
juga berdampak pada menurunnya gangguan ispa pada anak-anak. Gangguan ini meliputi influenza, parainfluenza,
respiratory syncytial virus, and human metapneumovirus. Karantina memungkinkan
penerapan social distancing yang
menurunkan risiko terinfeksi gangguan pernapasan. Penurunan
juga disebabkan anak-anak dan keluarganya menerapkan usaha pencegahan dengan
sangat baik. Usaha ini meliputi rajin cuci tangan, menjaga kebersihan pribadi,
dan membatasi waktu ke luar rumah.
Ada pula perubahan perilaku kaum remaja dalam
sebuah keluarga. Kebiasaan bepergian ke luar rumah menjadikan mereka lebih
mencintai rumah sendiri. Bukan tidak mungkin
kehangatan keluarga semakin terbina karena selalu memilki waktu bersama.
Anak-anak dalam keluarga semakin merasa memilki rumah sebagai tempat
berlindung, menuai kasih sayang.
Barangkali pula serangan covid 19
mengkampanyekan tentang hidu bersih sebagai pangkal kesehatan dalam kehidupan
setiap hari, disiplin terhadap aturan, pemulihan terhadap kharakter dan nilai
luhur bangsa. Pandemi covid mungkin pula bukan racikan peristiwa dunia tetapi
memviralkan sesuatu yang dahsyat bagi masa depan sendi-sendi kehidupan manusia.
Boleh jadi pandemi virus masa kini akan melahirkan jejak baru kebudayaan bangsa
dan masyarakat dunia membangun peradaban baru.
(Penulis, Guru di SMP Negeri 13 Kota Kupang)
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!