cerpen TERPANGGANG TERIK KEANGKUHAN

 

TERPANGGANG TERIK KEANGKUHAN

Cerpen: Joni Liwu,S.Pd


 

Raknamo, sebuah bendungan dalam dekapan Sabana Timor. Menganggumkan, memanjakan mata pengunjung. Walau debit air pada kemarau berkepanjangan berkurang, tetap menjadi wisata yang menarik, setidaknya bagi warga di daratan pulau ini juga lainnya. Di tepian sebelah timur, berjejer beberapa pohon lontar,  sedang di tepi kiri kanannya terlihat bongkahan tanah putih yang terkikis banjir. Mirip jurang yang mengapiti bendungan itu. Sejenak seperti sebuah danau  di tengah sabana. Pada dataran rendah lain di tepi bendungan itu terlihat beberapa ekor ternak merumput, sesekali menengak air, bak oase di padang gurun. Betapa memandangnya di tengah pulau yang gersang menjadi cerita tersendiri, indah, menyejukan, menyenangkan setiap yang bertandang ke sana.

 

Di atas tepian dinding tembok, Adi menyulut rokok sebatang. Perjalanan beberapa jam lalu dari pusat kota cukup melelahkan. Ia bersama Dely, saudarinya, kakak ipar dan keponakannya. Sudah seminggu lebih ia berada di pulau seberang menjadi operator alat berat pengerjaan jalan raya. Hari ini  ia hendak beristirahat tetapi ajakan saudarinya tidak bisa ditolak, apalagi hari-hari ini menumpang dirumah saudarinya tersebut.

 

Bendungan yang diatata sebagai tempat wisata membuat saudari dan keponakannya berjalan-jalan sambil berswafoto, foto bersama. Mereka kini cukup jauh dari Adi. Lagian ia ingin menyendiri. Menjadi operator alat berat dipelajari sendiri. Ia termasuk otodidak. Menjadi operator alat berat seperti excavator (Bego), bulldozer,wheel loader.wales stump, crane, grader, scraper, bahkan asphalt pave dipelajari sendiri.

 

Sejak tamat Sekolah Dasar ia memilki kebiasaan memungut barang rongsokan seperti kalklator, tape recorder. Barang-barang itu dibawa ke rumah kontrakan bersama ibundanya.barang-barang bekas itu menjadi alat-alat percobaan. Ia sendiri sebagai montirnya.  Bahkan hingga remaja ia tertarik mereparasi barang-barang tersebut. Alhasil, saat dewasa ia memiliki keahlian mereparasi alat-alat elektronik. Sedangkan mengoperasikan dan menjadi teknisi alat-alat berat itu pun dipelajari sendiri ketika ia menjadi buruh pekerjaan jalan beberapa tahun terkahir. Karena kerja keras dan ketekunan, akhirnya ia dipercayakan pimpinan perusahaan tempat ia bekerja menjadi teknisi.

‘Om, ayo..!” Enta keponakannya memanggil.

Adi melihat dari kejauhan. Rupanya Enta tidak ingin omnya sendirian. Berkali-kali ia memanggil tetapi Adi tak menggubris. Kini ia telah menghabiskan sebatang rokok di tangannya. Ia berjalan menemui keponakannya. Dely, kakak kandungnya itu sangat mengetahui keadaan adiknya itu, termasuk kondisi batin adiknya yang telah dtinggal pergi isteri dan anak-anak ke rumah mertua.

 

“ Jajan?” pinta Dely sambil meberikan kue yang dibeli sebelumnya.

“Aqua saja,” jawab Adi sambil menujuk air mineral yang dijinjing Lenta.

Dely memberikan sebotol air mineral. Namun setelah menerima botol tersebut Ady pun menyusuri tepian bendungan, ingin melihat beberapa orang yang sedang memancing. Adi memang telah berkeluarga. Dua tahun yang lalu ia memang telah meminang Rany. Kehidupan keluarga Adi semula sangat akur. Dely yang mengurusi peminangan itu merayakannya dengan meriah. Ketika itu Adi telah memiliki seorang anak laki-laki. Tahun lalu, ia malah memiliki anak kembar. Kehadiran putra kembarnya menjadi awal petaka. Kesibukannya di tempat kerja yang berjauhan menyulut kejenuhan Rany, isterinya  untuk merawat ketiga tersebut. Belum lagi jika pekerjaan membuka jalan baru, itu berarti Ady harus berada di tempat kerja sekitar satu atau dua minggu. Sekali dua minggu itu, ia baru kembali bersama isteri dan ketiga anaknya.

 

Hidup di kamar kontrakan dengan segala keterbatasan seperti api dalam sekam. Rany memendam kemarahan. Ia geram.Untuk menyampaikan hal tersebut kepada Ady saat ini tentu ia tidak akan kembali. Sudah hampir beberapa bulan setelah kelahiran anak kembar mereka, ia serasa tidak sanggup lagi megurusi ketiga putera mereka.

 

“Ady, Ady,... bos memanggilmu,” pekik Marsel.

Suara bising alat berat membuat Marsel harus beberapa kali memanggil Ady. Setelah Marsel menggoyangkan dedaunan di tangannya, Ady baru mengetahui kalau Marsel memanggilnya. Beberapa saat kemudian Ady menghampirinya.

“Bebatuan itu sangat keras. Untuk menggusurnya butuh beberapa hari,” kata Ady menginformasikannya. Marsel teman operator Ady. Ia selalu bergantian mengoperasikan alat-alat berat.

“Ada yang penting, kata bos,” sergah Marsel.  Ady kemudian menemui bosnya.

“Anak sakit, sehingga kamu boleh pulang untuk menjenguk,” papar bos.

“Baru saja saya ditelpon Rany,” lanjut bos.

 

Wajah Adi gelisah, karena putra kembarnya itu baru berusia 5 bulan. Terasa berat meninggalkan ketiga puteranya bersama isterinya. Namun kewajiban untuk memenuhi kebutuhan mereka berempat itu telah menjadi tanggung jawabnya. Membeli susu bagi anak-anaknya, membayar tagihan listrik dan air, juga membayar kontrakan. Betapa semua itu menjadi kewajibannya. Apalagi jika sekarang putra-putranya itu sakit, itu berarti ia harus menyediakan dana yang cukup untuk bisaya pengobatannya.

 

“Papa? Boy sakit,” Ady mendengar suara melalui gaway bos nya.

Ady kehabisan pulsa sehingga tidak bisa menelpon isterinya.

“Iya, saya kembali,” jawab Ady.

Ia pun kemudian menumpang bus hingga menemui keluarganya. Perjalanan kurang lebih dua jam serasa sangat lama. Ady tak sanggup melihat anaknya menderita sementara isteri mengrurusinya sendiri. Setibanya di rumah ia pun langsung menyambangi Boi. Digendongnya Boy sedangkan  Roy oleh isterinya. Charles si sulung dibiarkan bermain mobil-mobilan. Ia mengelus-ngelus dahi Boy namun ia tidak melihat tanda-tanda anaknya tersebut sakit.

“Siapa yang sakit?” tanya Ady.

Isterinya yang mendengar pertanyaan itu hanya diam. Ia seolah tidak mendengar pertanyaan Ady.Beberapa lama menungguh jawaban, Ady merasa ditipu.  Rany kali in terdesak oleh pertanyaan Ady yang kesekian kali. Ia pun menjawab dengan muka merah padam. Hari ini mungkin menjadi hari yang tepat baginya mengatakan yang terpendam selama ini.

“Anak-anak memang tidak sakit,” jawab Rany.

“Lalu?”

“ Saya cape,” sahut Rany,” saya butuh pembantu”

 

Pertanyaan ini seolah menohok jantung Ady. Bagaimana mungkin membiaya pembantu rumah tangga, sedang untuk makan dan kebutuhan serumah saja belum cukup. Otaknya bagai dipaksa untuk bekerja memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai karyawan biasa tanpa pendidikan atau berijasa, tentu upahpun dibiayai sebagaimana UMR. Ia terus mendengar omelan isternya yang tiada henti.

“Bagaimana saya bisa mengerjakan sendiri sedangkan saya harus mengurusi ketiga putera kita?”

Tandas rany berkali-kali.

Pada pertanyaan ini, Ady semakin terpaku. Ia tidak mampu menjawabnya. Seolah dihadapannya tertera sejumlah soal matematika yang harus diselesaikan dengan rumus-rumus tertentu. Jika tidak menghafal  rumus maka ia tidak mampu menyelsaikan soal tersebut.

 

Ady mengelus-ngelus rambut Charles selalu mendekatinya. Ia menyayangi ketiga puteranya, tetapi ia juga harus bekerja menafkai mereka. Sungguh di pundaknya kini bagai memikul beban yang sangat berat. Beban itu menjadi bebannya bukan isterinya. Namun beban di pundak isternya terasa kebih berat. Keluhan-keluhan dari mulut isterinya kini mungkin sebagai wujud beban yang tak sanggup dipikulnya.

“Bapak...!” demikian Rany.

“Aku ingin kerumah ibu,” pintanya lagi.

“Tapi saya ingin membawa serta ketiga anak ini,” Rany terus memohon kepada suaminya.

Lahi-lagi Ady tak sanggup merestui permintaan Rany, tetapi ia juga tidak ingin jika isterinya terbeban dengan ketiga anaknya.Ia bagai menghadapi buah si mala kama. Pilihan yang sangta memberatkan.

“Apakah mungkin saya harus mengikuti kata hati Rany?” batinnya.

Keesokan harinya ia pun berkemas ke rumah orang tuannya. Seminggu, dua minnggu dan kini sudah hampir setahun tidak ada kabar berita.Setiap dihubungi Ady, selalu terjawab nomor di luar jangkauan. Beberapa nomor lama dihubungi pun sama halnya. Rany telah mengganti nomor-nomor gawainya.

“Apa yang dipikirkan Rany sehingga ia tidak bisa terhubung?” berkali-kali Ady membatin.

 

Pondok-pondok kecil yang dibangun di tepi bendungan tersebut hampir ditempati beberapa pasangan remaja. Di tepi-tepi bukit itulah, setiap pengunjung dapat melihat beurung-burung bangau di tenga danau. Menakjubkan, karena di tengah-tengah danau berjejer pula bangau berparuh besar. Ada pula beberapa burung belibis di tepian sebelah. Ady terlihat pada salah satu pondok di atas bukit. Hatinya gulana lantaran Rany tak hendak pulang bersamanya. Hanya karena cek-cok mulut hampir setahun yang lalu. Rany menghendaki agar mereka haru mempunyai pembantu sedangkan Ady merasa bahwa saat ini mereka belum punya cukup uang untuk itu.

“kalau begitu, cukup sampai di siti,” Rany memutuskankan sendiri.
Ady hanya terdiam ketika itu. Ia pun tidak ingin menyakiti hati isterinya apalagi bagi anak-anaknya. Ia tidak ingin perseteruan dengan isterinya menjadi tontonan anak-anakknya yang masih balita.Karena itu, ketika mobil sewaan isterinya tiba di depan rumah kontrakan ia pun turut menghantar kepergian isteri dan anak-anaknya ke ruah mertua.Walaupun demikian hampir setiap bulan ia menafkai isteri dan anak-anaknya. Namun pantang baginya harus tinggal bersama mertua. Sebagai seorang suami, ia harus memilki rumah sendiri.Dan ia tetap berniat untuk membangun rumah walaupun sederhana.

 

“Ady, kita pulang,” Ady membaca chat dari kakaknya di whatshapp.

Ia pun kemudian  menuruni anak tangga. Mereka pun kemudian menyusuri jalanan  berkelok. Sabana musim kering ini menyisahkan rerumputan kemuning. Hanya terlihat di pinggir-pinggi selokan, rerumputan itu meghijau. Panroma yang kontras. Namun sejauh mata memandang hanya terlihat dedaunan meranggas.Bertahan hidup di pualau sabana yang dikenal dengan nusa lontar.

“Kita harus lihat anak-anak,” Dely mengajak.

“Bagaimana kondisi anak-anak tersebut? Sudah setahun kita tidak berkunjung,” lanjut Dely tanpa meminta persetujuan Ady.

Ady mengikuti saran kakak sulugnya itu.Kendaraan yang dikemudikannya terus melaju menyusuri jalanan di tengah pada. Sekitar sejam kemudian mereka tekah tiba di rumah mertua.

 

“Bapa.....!”teriak Charles saat ayanya turun dari mobil.

Namun Ady belum melihat siterinya. Mertuanya pun  turut menyambut kehadiran Ady, juga keponakan dan suami Dely. Ady melihat isterinya di ruang tengah sambil menggedong Roy. Belum sempat menanyakan kabarnya, ia langsung dihardik.

“Untuk apalagi ke sini?”

Ady hanya terdiam.Ia menjawab sepatah kata pun. dielus-elusn wajah Charles, sedang Dely menggedong Roy.

Ketiga putranya kelihatan tak terawat. Tulang pipi lelihatan. Dely sempat mengamati Roy. Sungguh sangat prihatin. Kondisi kehidupan di rumah ini sangat tidak mendukung. Mertua Ady yang sudah renta, tentu tidak sanggup menghidupkan anak-anak dan cucu-cucunya. Daly, Ady juga enta dan kakak iparnya tidak sanggu melihat keadaan ketiga anak-anaknya.Belum lagi wajah-wajah kusam. Kurus, dan entah apalagi harus mengatakannya. Ia menangis dalam hati melihat kondisi anak-anaknya. Kondisi kejiwaan pun pasti terganggu karena orang tua berjauhan. Itu bisa jadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi anak-anaknya. Gemuruh batin hendak marah tetapi itu tidak mungkin dikatakannya.

 

Ady sangat berharap jika diizinkan ia bisa merawat anak-anak tersebut di rumah kakaknya Dely. Rany semenjak kehadiran mereka di rumah tersebut, selalu saja terdiam.Ia tidak mempedulikan kehadiran mereka. Kelihatan angkuh, walau sebenarnya ia harus menjaga perasaan orang tuanya ketika meerima tamu. Tapi beberapa kali ia mencubit anak yang digendongnya sehingga suasana kekeluargaan ketika sangat tidak nyaman.

“Om...!” demikian mertua Ady menyapa suami Dely.

“Saya berharap anak-anak ini dirawat ibu Dely saja,” pinta mertua Ady.

Doa Ady bagai terkabul. Dely pun menyetujui niat mertua Ady tersebut. Namun, semua tergantung Rany. Mereka sangat menunggu kepastian darinya.

“Memang saya sendiri tidak sanggup untuk memelihara ketiga anak tersebut,” pasrah Rany.

“Jadi bagaimana?” sambar Dely.

“Saya akan bersama seorang anak di sini,” timpal Rany.

Ady, Daly dan suaminya bagai melepaskan dahaga dengan setetas air di tengah gurun. Mereka sangat menungguh jawaban tersebut.  Sungguh berterima kasih atas jawaban itu.Tampak raut bahagia juga pada mertua Ady. Ia sendiri mungkin hendak menyampaikan hal tersebut kepada Ady, tetapi Riny telah menghampur nomor gawainya, sehingga tidak bisa menghubuingi Ady.

 

“Sesekali anak-anak ini akan datang ke sini melihat ibunya,” kata sami Dely kepada mertua Ady.

“Mungkin seperti,” sahut mertua Ady,”Bagaimana pun, kita tidak boleh memutuskan kedekatan batin antara ibu dan anak-anaknya.” Lanjut mertua Ady.

 

Rany tentu tidak tega berpisah dengan anak-anaknya, tetapi kondisi saat ini sangat meprihatinkan, sedangkan ia sendiri belum memutuskan untuk kembali bersama suaminya. Entah karena malu atau rasa sungkan sehingga ia belum memutuskan rujuk lagi berdama Ady. Tetapi keangkuhan tampak dari tutur katanya. Ia seperti melempar semua kesalahan kepada Ady. Semenjak kehadiran Ady dan kaka-nya di rumah itu, tak sedikitpun ia memberi kesempatan kepada Ady untuk berbicara. Ady hanya terdiam seribu bahasa. Meladeni itu berarti menyulut perang mulut. Diam menjadi pilihan agar niat membawa serta anak-anak terwujud.

 

Ady tidak ingin  memaksakan kehendak isterinya. Baginya hidup itu pilihan. Mungkin waktu akan menyelesaikannya. Walaupun demikian, ia tetap menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang suami yang menafkai isteri dan anak-anaknya. Oleh karena itu, ia harus menyikapi dengan bijak penghasilannya sebulan. Kepada isteri dan anak-anaknya, juga memenuhi kebutuhan kedua anak yang kini bersamanya.

 

Menyusuri kehidupan di masa pandemi seperti melitani kesulitan hidup yang tiada taranya. Kedaiaman hidup bagai tercabik, tapi mungkin kepahitan itu harus ditelannya. Ia meyakini mentari akan terbit esok hari sembari menerpa kegelapan. Di sana ia akan mampu mengayuh biduk keluarga hingga ke tepian.Di sana pula, keanggukah itu tergerus karena ia telah menyemai ketabahan hidup. Sungguh siapapun yang sabar dan tekun akan mekar seperti bunga, akan indah seperti purnama, dan menakjubkan seperti kupu-kupu. ***

 

 

 

 

 

Komentar