BERKACA DARI RAHIM CINTA SEORANG KARTINI


 

 

BERKACA DARI RAHIM CINTA SEORANG KARTINI

 

Oleh: Yohanes Joni Liwu, S.Pd.

 

Tanggal 21 April 2021, mengawali  kisah hari ini, semestinya dengan jujur bangsa ini terlebih kaum hawa menyampaikan selamat Ulang Tahun untuk ibunda bangsa, Ibu Pertiwi. Betapa sebuah ucapan yang sederhana namun cukup memantik hati juga pikiran untuk berkisah tentang semangat menyetarakan kaum Hawa dengan kaum Adam. Semoga saja diksi yang saya gunakan untuk menggantikan kaum perempuan dengan Hawa juga Adam untuk pria, tidak disejajarkan dengan manusia pertama yang hidup di zaman awal menurut kitab suci. JIka saja ada yang meyejajarkannya maka mungkin saja kaum hawa akan menjadi kaum yang dipersalahkan sehingga kaum Adam alias laki-laki pun terjerumus menikmati buah terlarang. Sebagaimana  tulisan ini diawali dengan mengenang kelahiran Raden Ajeng Kartini, yang hari ini sepatutnya dirayakan. Betapa tidak peran wanita tidak diragukan lagi. Kehadrian perempuan Indonesi sangat memberi warna tersendiri bagi Indonesia. Dalam berbagai bidang, hampir pasti kaum perempuan telah mengambil peran membangun bangsa bersama kaum pria.

Dalam hal mengabdikan diri sebagai Aparatur Sipil Negara, perbandingan jumlah PNS pria dan wanita pada Desember 2019 adalah PNS pria sejumlah 2.031.294 orang atau 48,49% sedangkan jumlah PNS wanita adalah 2.157.827 orang atau 51,51%. Dapat disimpulkan bahwa selisih perbandingan jumlah PNS Wanita adalah 0,03% lebih banyak daripada jumlah PNS Pria. Kaum pria tidak perlu tercengang karena memang demikian data riil oleh Badan Pusat Statistik. Dari jumlah itu, bukan tidak mungkin selisih tersebut akan bertambah dari tahun ke tahun.

Jika dilihat data Polisi Wanita memang masih jauh dari kaum pria. Hingga saat ini, hanya ada 36.595 polisi wanita atau 8,3 persen dari jumlah total anggota Polri. Belum lagi jika dilihat perempuan yang mengambil peran sebagai seorang guru. Dari total guru (SD, SMP, SMA, SMK, SLB) tahun 2019 sebanyak 2.755.020; guru berjenis kelamin perempuan berjumlah 1.773.034; tersisah 981.986 adalah guru laki-laki. Dari jumlah tersebut, berdasarkan jenis kelamin, hampir seluruh jenjang didominasi oleh perempuan. Bila dipersentasikan, sebanyak 64,35% merupakan guru berjenis kelamin perempuan. Karena jumlah guru perempuan saat ini mencapai 1.773.034 orang. Jumlah guru terbanyak berada di jenjang SD yakni sebanyak 1.467.461 orang. Kemudian disusul oleh jenjang SMP sebanyak 643.266 orang, SMA 314.619 orang, SMK sebanyak 304.634 orang, dan guru di SLB sebanyak 25.040 orang.

Sekilas tercatat bahwa emansipasi yang diperjuangkan seorang Kartini telah mengubah dan berbuah. Mengubah tatanan kehidupan seoang wanita Indonesia dari sekedar mengurusi dapur dan sumur juga kamar. Ia bahkan lebih mengurusi situasi yang sangat kompleks dari rumah tangga hingga ke dunia kerjanya setiap hari. Kartini telah memantik semangat kaum wanita agar dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk dunia yang lebih luas, tidak sekedar melaksanakan kodratnya sebagai seorang wanita, mengandung, melahirkan mengasuh, membesarkan seorang anak.

Ihktiar seorang wanita yang lahir 21 April 1879 itu telah berbuah hasil. Wanita Indonesia  bahkan dunia menikmati buah perjuangan berbentuk emansipasi. Di setiap aspek kehidupan wanita telah sejajar dengan pria. Bahkan dengan melakoni perannya serasa segala yang rumit menjadi sederhana.

Cinta seorang ibu bukanlah isapan jempol. Dari Rahim cinta seorang ibu, ia telah menggelorakan semangat untuk menghidupkan sebuah kehidupan. Ia bahkan dengan cinta mempertarukan nyawa demi kehidupan walau kehidupannya dinomorduakan. Baginya cinta bukan saja tameng, tetapi roh yang mengurapinya untuk berkarya demi sebuah kehidupan. Dari rumahnya sendiri, ia harus medasarkan dan mendaraskan cinta, agar mahligai cinta tak terkikis berbagai krisis. Jika bukan dengan cinta, bukan tidak mungkin biduk rumah tangganya kan terombang ambing. Sesederhana apa pun sajiannya di meja makan, jika bukan karena cinta, kan terasa hambar tak berguna. Ia telah memulai segalanya dengan cinta, sehingga tak sedikitpun ia mengabaikan cinta dalam kehidupannya.

 

R.A. Kartini, jejak dan sosok

 

R.A. Kartini adalah sosok wanita yang sederhana, yang tidak membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin. Bahkan beliau memperjuangkan nasib rakyat jelata agar memiliki kesempatan memperoleh pendidikan layaknya kaum ningrat. Beliau tidak menampilkan gaya hidup seorang bangsawan berdarah “biru”.

Memaknai perjuangan R.A. Kartini akan terlihat jelas ketika kita memaknai “emansipasi” yang diperjuangkan beliau. Emansipasi yang diajarkan R.A. Kartini adalah adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu, memperluas wawasan dan memiliki peran dalam memajukan bangsa. Bukan emansipasi yang menuntut persamaan peran dan fungsi dalam kehidupan antara kaum wanita dengan kaum pria. 

 

Andaikan Kartini hadir hari-hari ini, ia tidak menangis karena kesedihan bangsa atas   pandemi covid 19, atau seroja yang menyayat kalbu warga NTT. Ia bahkan menangisi bangsa ini yang tak lagi memperjuangan semangat kebersamaan. Bangsa ini bagai terkontaminasi oleh egoisme sektoral semisal fanatisme, juga unsur sara. Apakah hal ini yang dierjuangan seorang Kartini? Belum karena terpapar covid 19, jenazah seseorang kemudin ditolak untuk dikebumikan di sebuah wilayah. Alangkah mirisnya bangsa yang beradab ini.

Situasi bangsa akhir- akhir ini bak terkoyak badai taufan. Di Hari Kartini, kesadaran moral berbangsa dan bernegara sedang teruji. Hampir tak terdengar lagi cerita indah tentang persaudaraan senasib dan sepenanggungan. Seorang Kartini yang menggelorakan emansipasi, sesungguhnya hendak memproklamirkan bahwa, dengan beremansipasi, kaum pria semakin diteguhkan dalam membangun bangsa. Kaum wanita dengan segala kompetnsinya dapat mengambil bagian dalam membangun bangsa yang besar. Semua itu akan terwujud jika semua harus bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Jika bangsa terkoyak, bukan tidak mungkin amanah seorang Kartini telah dicampakan dari Rahim bangsa ini. Rumah besar yang bernama Indonesia semestinya dibangun atas dasar senasib dan sepenanggungan, bukan atas kepentingan golongan. Setidaknya hal tersebut telah menjadi tonggak  sejak Kartini menggagas emansipasi bangsa Idonesia.

 

Kartini telah membesarkan Indonesia dengan cinta yang tak pernah padam. Cinta itu kini telah mekar di taman Indonesia. Bangsa yang besar dan berdaulat ini semesetinya mengagungkan kebesarannya, tidak sekedar melitani lagu wajib “Ibu Kita Kartini”, dan lagu itu pun berakhir tersapu bayu tak tentu arah. Kartini, cintamu pada bangsa ini, melebihi samudra nan luas.

 

( Penulis: Guru di SMP Negeri 13 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur )

 

 

 

Komentar