JASA GURU DALAM HEMPASAN SEROJA

 

JASA GURU DALAM HEMPASAN PANDEMI DAN SEROJA

( Sebuah catatan akhir pekan )

 

 


Setelah mempersiapkan ruang kelas untuk Ujian Sekolah ( US ) saya pun membuka gawai, melihat-lihat salah satu media sosial.Pada halaman tersebut tertera foto penerimaan tanda jasa.Facebook menayangkan sebagai foto kenangan tiga tahuh silam. Seingatku ketika itu tanda jasa disematkan oleh wakil wali kota setelah setiap kami berjubel di ruang lantai satu. Betapa situasi yang sangat berbeda dari biasanya, belum lagi semua berjas. Sebuah pakaian kebesaran yang jarang digunakan guru misalnya dalam pembelajaran di sekolah.

 

Sebuah situasi yang berbeda dengan rutinitas di depan kelas, di meja kerja atau di sekolah umumnya. Situasi seremonial yang jauh berbeda dengan pembelajaran di sekolah. Di ruang kelas misalnya, guru berupaya menerapkan strategi dan metode pembelajaran, menghadapi seribu satu watak siswa, hingga memberi penilaian terhadap pengetahuan, sikap, juga keterampilan mereka. Sebuah kegiatan nonseremonial bukan seremonial, tetapi benar-benar dilaksanakan secara efektif. Lebih jauh dilaksanakan dengan hati agar perilaku siswa terbentuk juga perilaku guru pun jadi panutan.Begitulah alur kehidupan guru dalam pengabdian hingga memperoleh tanda jasa walau dilabeli pahlawan tanpa tanda jasa.

 

Di meja kerja, jangan pula ditanya. Bertumpuk pekerjaan siswa harus dicermati, dikoreksi, selanjutnya mendiagnosa jenis kesulitan belajar siswa. Ia harus menganalisis hasil penilaian lalu merencanakan pembelajaran remedial. Mungkin pula ditambah dengan tugas-tugas tambahan lainnya yang mesti dikerjakan.

 

Serasa tugas yang bertumpuk-tupuk tersebut tidak memberi ruang sedikitpun bagi guru untuk berelaksasi dengan berliterasi. Menulis misalnya, hampir tak tersentuh oleh guru, walau saban hari ia menggaungkannya (literasi) di depan kelas. Namun demikian, literasi dasar baca tulis belum mendapat ruang di hatinya. Bagai jauh panggang dari api. Entah sampai kapan ia dapat mewujudkan literasi sedang ia sendiri menyiapkan berbagai administrasi guru yang berbentuk buku 1 sampai buku 4.

 

Kebanggaan Semu

 

Hal lain terkuak dari penerimaan Satyalancana Karya Satya, yakni kebanggaan bisa berbakti kepada bangsa dan negara yang terpatri melalui selembar kertas dan medali. Kedua benda yang menjadi yang jadi kebanggaan semu. Medali itu pun jarang dipakai dalam rutinitas keseharian. Kalaupun disematkan di baju ( Korpri misalnya ), itupun pada hari-hari besar kenegaraan yang dirayakan dengan upacara bendera bersama. Belum lagi selembar sertifikat yang ditandatangani presiden, kini tersimpan rapih. Entahkah dibuka sekali dua kali sebagai tanda kebanggaan telah berjasa? Sebuah medali dan sertifikat yang hanya menunjukkan bahwa jasa sebagai ASN telah tertanda di dalamnya, pada medali dan sertifikat.

 

Satyalancana Karya Satya itu sendiri adalah sebuah tanda penghargaan yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah berbakti selama 10 atau 20 atau 30 tahun lebih secara terus menerus dengan menunjukkan kecakapan, kedisiplinan, kesetian dan pengabdian sehingga dapat dijadikan teladan bagi setiap pegawai lainnya. Terhadap item-tem terkahir di atas tentu memiliki indikator-indikator tertentu. Walaupun demikian, mungkinkah penilaian-penilian tersebut telah menunjukkan sebuah kesuksesan?

 

Hal terakhir tersebut terasa gamang disematkan kepada ASN. Guru misalnya, setelah mengabdi sepanjang hidupnya selalu dipertanyakan kapabilitasnya. Di kala siswa gagal, guru menjadi sasaran tembak. Ketika siswa bermasalah di lingkungan hidupnya, selalu saja kredibilitas guru dipertanyakan.Tapi orang lupa bahwa pendidikan utama dan pertama dalam keluarga. Mungkin banyak orang memahaminya tetapi tidak semua keluarga mampu menjadikan keluarga sebagai pendidikan pertama.

 

Sebuah pembuktian yang telah terkuak saat Pembelajaran Jarak Jauh ( PJJ ) atau Belajar Dari Rumah ( BDR ) ikhwal keluarga sebagai sekolah pertama. Sebagaimana dilansir Tribunnews.com, Mendikbud Nadiem Makarim menanggapi keluhan dari orang tua terkait PJJ. Berbagai keluhan tersebut menunjukkan bahwa tidak semua rumah tangga mampu menjadikan rumah sebagai sekolah pertama. Itu berarti pula bahwa orang tua yang menjadi guru pertama di rumah “angkat tangan” alias menyerah walau di saat pandemi saja.Orang tua dalam hal lebih mempercayakan pendidikan anaknya pada lembaga pendidikan dengan guru sebagai juru mudinya.

 

Sayangnya, betapa banyak dari orang tua setelah memasukkan anaknya di sebuah lembaga pendidikan, seakan lepas tangan. Menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anak hanya kepada guru yang bersama anak saja hanya beberapa jam di sekolah. Padahal, di mana pun seorang anak belajar, tetap guru utama dalam hidupnya adalah kedua orang tuanya.

Jika dikritisi pendidikan di sekolah, hanya menambah pendidikan dan materi pelajaran yang belum bisa dilakukan orang tua kepada anak di rumah. Sekolah utama anak bagaimanapun adalah rumah. Dan kedua orang tua adalah guru utamanya. Yakinlah, jika seorang pendidik utama anak, yakni orang tua telah menjalankan perannya dengan baik di rumah, sedini mungkin, pasti di mana, kapan dan bagaimanapun seorang anak akan baik.

 

Keluhan BDR lain misalnya soal 213 aduan siswa tentang BDR ke Komisi Perlindungan Anak Indoinesia ( KPAI ). Jenis aduan pun beragam, yang kemudian diklasifikasikan oleh KPAI menjadi beberapa poin pengaduan, dari beratnya tugas, hinggga keterbatasan waktu. Sebuah contoh berikutnya sebagai pratanda bahwa mendidik anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karenanya, pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan.

 

Keluhan-keluhan tersebut tentu menjadi sebuah asumsi bahwa rumah bukanlah sebuah tempat pembelajaran yang efektif dan efisien.Orang tua sendiri "tidak mampu" menjadi guru utama di rjmah. Dengsn demikian, BDR selama pandemi telah mengalami pasang surut. Atau dengan kata lain, BDR atau PJJ sangat tidak efektif untuk pembelajaran pada masa pandemi covid 19. Jika demikian, maka semestinya perlu dipikirkan jenis pembelajaran yang lebih efekif selama pandemi yang belum diprediksi kapan berakhir.

 

Hingga di titik ini, peran guru perlu digarisbawahi, semisal pembelajaran di rumah pada masa pandemi menjadi sebuah pilihan. Tetapi sejauh ini jasa guru tidak dibidik oleh orang tua. Padahal jika dicermati, dengan pemberlakuan BDR, orang tua dapat memanfaatkan jasa guru untuk mengajar di rumah, tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan. Sejauh ini jasa guru masih dipandang sebelah mata walau semua orang mengetahui guru bersentuhan langsung dengan membangun SDM.Membangun SDM sama dengan menyiapkan masa depan anak-anak, mempersiapkan generasi bangsa.

 

Menyampaikan gagasan untuk menggunakan jasa guru boleh jadi menjadi sebuah pendapat yang mungkin dipikirkan berkali-kali oleh orang tua pada umumnya. Namun hal tersebut sangatlah berdampak. Guru umumnya di masa pandemi memiliki waktu yang sangat banyak.Untuk tujuan yang sangat mulia, ia tentunta dengan tangan terbuka mendengarkan keluhan orang tua. Setidaknya mengurangi beban kerja orang tua yang merangkap jabatan, sebagai orang tua, juga sebagai guru.

Dalam banyak hal guru dibutuhkan bahkan dalam situasi terpuruk sekalipun. PGRI Flores Timur misalnya memberdayakan guru-guru Bimbingan dan Konseling untuk melakukan pendampingan kepada anak-anak “sekolah” tertimpa bencana seroja. Sebuah langkah taktis yang patut diacungi jempol karena PGRI Flotim sangat mengerti tentang kompetensi guru, bukan saja soal menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga soal memulihkan kondisi kejiwaan anak-anak “ sekolah” di daerah bencana tersebut.

 

Mungkinkah kredibilitas dan kapabilitas guru diragukan?

 

Berkaca pada keluhan orang tua di kala BDR, maka pertanyaan tersebut luluh bak diterpa badai seroja.Mengapa demikian? Karena guru memiliki komptensi keahlian. Seirama perkembangan zaman, ia mampu membangun kesejawatan dan mengembangkan diri serta meningkatkan kecakapan.

 

Guru-guru itu selalu merawat jiwa sosial. Para guru Indonesia adalah para pejuang pendidikan yang sesungguhnya menjalankan peran tugas dan tanggung jawab. Dengan segala tantangan dan hambatan, guru selalu berada di garda terdepan dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Dengan demikian, guru dapat membangun peradaban bangsa sehingga Indonesia menjadi bangsa yang berbudaya, cerdas, bermutu, berkarakter, serta mampu bersaing dalam kancah pergaulan global. Tunggu apa lagi!

 

Kupang, 17 April 2021

 

Komentar