BERJIBAKU RETAS KEKALUTAN
BERJIBAKU RETAS
KEKALUTAN
Motto
pada sebuah akun media sosialku adalah membaca merusak kebodohan. Saya
mengais-ngais motto itu dari bacaan-bacaan yang entah apa judulnya. Jika
disandingkan dengan kata bijak tentang membaca, tentu banyak variannya. Sebuat saja
di dinding-dinding sekolah pun di taman baca mungkin lebih sering dibaca motto
bertuliskan membaca jendela menuju dunia, atau membaca menempah pikirmu,karsamu, dan citamu. Kecendrunganku
memilih motto yang sederhana ini membawaku pada masa silam di kala mengenyam
pendidikan di bangku Sekolah Dasar.
Pada
empat puluan tahun silan itu saya telah mewarisi semangat membaca dari ayahku
yang berlangganan sebuah Surat Kabar Minggu. Masih sangat kental diingatanku,
jika hampir setiap awal pekan, bapakku
yang seorang guru desa ini akan menerima paket dalam kemasan tertulis lengkap
nama dan alamat. Ketika itu, sumber informasi tertulis yang dapat dijangkau di
pedesaan hanyalah surat kabar tersebut. Rasa penasaran jika ayahanda mulai
membuka kemasannya. Jadi tidak mengherankan jika ayah membaca halaman depan,
saya harus berlelah-lelah duduk di depan telapak kaki ayahanda untuk membaca
halaman belakang. Kenangan yang bagiku merupakan pengenalan tehadap literasi
yang kukenal sekarang.Kebiasaan membaca itu, membuat ayahku haus untuk membaca,
bahkan hingga di usianya yang ke delapan puluh ini.
Tanpa
sadar kebiasaan ayah ini menjadi kebiasaanku juga. Lebih jauh dari itu,
pertanyaan yang selalu mebantinku adalah mungkinkah saya bisa menulis
sebagaimana penulis-penulis dalam surat kabar minggun tersebut.Memasuki
pendidikan di jenjang SMA, para penulis juga wartawan pada surat kabar mingguan
tersebut seolah membakar kekalutanku dalam menulis. Menulis bagi ketika itu
hanyalah sebagai latihan, dan hanya untuk konsumsi sendiri. Setidaknya dalam
buku-buku tulisan kumencoba menulis berita, dengan tdiak memilki pengetahuan
dasar soal jurnalistik.
Memasuki
perguruan tinggi, rupanya semangat menulis ini tak terhankan lagi. Berbekal
semangat itu pula kucoba mengirimkan berita ke meja redaksi. Bak gayung
bersambut, tulisanku terpampang di halaman surat kabar mingguan yang sudah
kukenal sejak Sekolah dasar tersebut.Keseringan mengirimkan tulisan, apalagi
diberi insentif, membuat redaktur mempercayaiku sebagai korespondennya. Itu
kulakukan dengan senang hati, karena itu merupakan salah satu cita-citaku.
Status koresponden yang juga sebagai pewarta berita membuatku berbenah.Belajar
secara otodidak tentang menulis menjadi sebuah tuntutan. Belum lagi tulisan
harus memenuhi syarat pemberitaan agar layak di meja redaksi. Suatu hal yang
sangat membanggakan apabila tulisan itu ditayangkan di halaman depan sebuah
surat kabar.Belajar menulis menuntut saya untuk membaca.Oleh karena itu, ruang
perpustakaan perguruan tinggi menjadi tempat kuberkunjung, selain meminjam buku
juga melihat terbitan harian maupun mingguan.
Berjibaku
di masa kuliah memberiku banyak pelajaran hingga dewasa ini saya melakoni
profesi sebagai seorang guru. Setidaknya sejak Gerakan Literasi digemakan
pemerintah saya telah memiliki bekal seadanya tentang menulis.Ketika itulah
saya memahami bahwa sang ayah telah menanam tetapi saya memanen.
Bukti Panenan
Saya
mengumpulkan tulisan-tulisan di beberapa media masa semasa kuliah dalam bentuk bundelan.Hal itu
menarik bagi saya agar bisa melihat kembali bentuk dan isi juga kualitas
tulisan. Perkembangan itu tentu menjadi pelajaran sangat berharga, menjadi
kenangan terindah soal menulis.
Kini,
di hari-hari nan sulit karena pandemi covid 19 selalu mengintai, peluang bagiku jangan dibuang. Gagasan
menulis oleh para editor, penulis kakawakan yang tertebar di media on line kusambangi.Betapa pintu hati
mereka terbuka untukku.Yang menjadi menarik, penulis-punulis hebat dan editor
itu adalah juga para guru. Oleh karena itu, para guru-guru yang hari-hari ini
memilki niat yang sama, tentu dalam hal menulis, ikhlas bergabung. Bergabung
untuk belajar menulis. Sesuatu yang mungkin selama ini telah menjadi kebiasaan,
atau baru memiliki memiliki niat namun belum kesampain untuk mewujdukannya.
Pembelajaran
awal tentang menulis pun dilakukan. Webinar, video pembelajaran, juga alat
bantu belajar lainnya diberikan secara cuma-cuma oleh mentor yang berbudi baik.
Mentor yang telah menulis puluhan buku itu dengan rendah hati menjawab setiap pertanyaan para guru. Hasil
tidak mengkhianati proses. Pembelajaran melalui kerja berpeluh telah
menghasilkan karya para guru dalam dua
judul buku ber- ISBN. Buku pertama yang berjudul DEMI ANAK YANG berisi 41 judul
tulisan. Buku yang sangat pantas dibaca oleh orang tua juga para guru dan siapa
saja. Sangat menarik soal kisah-kisah para orang tua yang juga guru tentang
mendidik anak. Semua bisa belajar dari buku
ini agar orang tua tidak mengelus dada karena salah membimbing dan mendidik
anaknya.Sebelum terlambat, masi ada kesempatan memberi kasih sayang kepada anak
dengan asupan kasih sayang benar. Buku ini memberi kesempatan untuk berefleksi
tentang tindak –tanduk, entah salah kaprah atau kekliruan.Layak dibaca di saat
work from home.
Guru
menulis, mungkin berawal dari sini, belajar bersama, mengumpulkan tulisan
bersama, lalu menerbitkan menjadi sebuah buku ber-ISBN. Selain berbagi bersama,
buku antologi terbaru berjudul PANDEMI
LAHIRKAN INOVASI ini menyuguhkan motivasi internal bahwa menulis sesungguh
mengungkapkan secara tertulis yang dilisankan. Kemampuan komunikasi lisan dalam
pembelajaran setiap hari menjadi modal dasar. Menuliskan sesuatu yang
dilisankan, itulah jawaban sederhana dari kekalutan berpikir soal bagaimana
menulis.Paling kurang belajar menuliskan sesutau yang dialami dalam keseharian,
mendeskripsikan sesuatu yang ada di sekitar kita, atau bahkan menulis tentanh
pengalaman menarik. Memulai dari hal-hal kecil, bukan tidak mungkin akan sampai
pada sesuatu yang luar biasa.
Pengalaman adalah guru paling berharga, termasuk dalam hal mengejar
kesuksesan.Maka belajar dari pengalaman menulis untuk sesuatu yang sederhana
adalah guru terbaik.
Jika demikian, kita telah memiliki pengalaman
kecil bak setitik nila merusak susu sebelanga. Dalam hal ini,saya hendak
memaknai kalimat bermetaforis tersebut bukan sebagai keburukan seseorang
melenyakan segala kebaikannya, melainkan sekecil apapun wujud konkret
berliterasi, akan merusak kebodohan. Kita berada di jalan ini dan pasti bisa.
Kupang, 03 Desember 2020
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!