BERJIBAKU WALAU TERANCAM ( 3 )

BERSULANG BUKU DI FAIRFILD BY MARRIOTT

Hingga pukul non-nol delapan belas malam ini serasa mata belum kantuk. Rupanya segelas kopi saat jeda  sore tadi adalah  peyebabnya. Belum lagi  sempat mengopi saat mengikuti kegiatan penutupan malam ini. Hari ini memang kegiatan sangat padat. Itu karena kegiatan dipadatkan hanya menjadi tiga hari dari jadwal empat hari sesuai buku panduan.Hampir-hampir tidak memiliki waktu istirahat walau sebentar.  Namun demikian, kepenatan sejak pagi hingga siang lunas terbayar ketika membaca pesan dari seroang sahabat, penulis buku, editor buku, pegiat literasi dari Kota Pahlawan ini kalau ia hendak menemuiku  di lobi hotel. Baru  teringat jika jika telah sepakat melalui WhatsAAp. Pertemuan yang sangat bersahaja namun bermakna,  sederhana tetapi bernilai. Tidak lupa saya mengundang seorang sahabat yang juga akhir-akhir ini mennggiatkan literasi dengan menulis buku.

 

Pertemuan bertiga di sela-sela kesibukan walau baru beberapa menit pun melahirkan gagasan-gagasan seputar literasi. Sungguh seorang penulis buku yang kini sedang melatih anak-anak dan remaja menulis buku tersebut sangat membuka pintu hatinya agar bisa bergadengan tangan meretas kekalutan di dunia tulis-menulis. Lebih jauh sahatku yang dari NTT pun mengisahkan tentang pesimisme sahabat-sahabat kaum guru soal  menulis sebagai bagian dari misinya mennggerakan literasi di Indonesia. Tentu ini menjadi cerita lama jika tidak disebut sebagai sebuah masalah klasik. Terhadap hal tersebut, penulis puluhan dan editor buku dari Kota Pahlawan ini sangat bersedia bersilahturahmi ke NTT sekedar membersamai jika  ide belajar menulis terwujud melalui sebuah komunitas ataupun organiasai.

 

Lagi-lagi tentang menulis yang mesti digaungkan di jagad ini.Sekelumit gagasan yang muncul dalam pertemuan singkat namun bernuansa artistik. Sangat beralasan karena menulis ibarat mengukir di atas kertas, menumpahkan perasaan yang terdalam, pelepasan emosi yang paling dalam dari diri manusia. Tetapi menulis dapat pula menjadi sebuah terapi penyembuhan diri sendiri secara psikologis akibat tekanan kehidupan yang menghimpit, bahkan mungkin terhadap covid 19 yang kiang mradang dengan varian barunya.Kita pun dapat melitanikan menulis sebagai upaya menyembuhkan luka-luka batin.

 

Jika kita sudah atau sedang dan akan menulis, sesungguhnya menebarkan gagasan juga pesan. Baik fiksi maupun non-fiksi sekalipun pasti ada pesan yang hendak disampaikan penulis kepada pembacanya. Menulis itupun berbudaya karena menulis itu sendiri adalah produk kebudayaan. Hampir setiap peradaban besar di dunia ini mempunyai tradisi menulis sendiri. Karenanya menulis adalah pekerjaan peradaban.

 

Bak alur cerita, pertemuan tak seberapa  berakhir dengan saling memberi cindera mata, dan tentu saja berwujud buku. Sebuah kebanggaan tak terhingga karena buku solo pertamaku bertitel Mengembara di Lautan Cinta, kini mungkin ada di antara  ratusan buku karya seorang penulis hebat. Buku terbarunya berjudul Memoar Jajanan Pasar pun menjadi cindera agar bisa kulahap setelah kembali ke NTT.

 

Surabaya hari-hari mendekapku dalam rutinitas kegiatan bertajuk Penguatan Implementasi Kurikulum, tetapi telah pula menorehkan sebuah catatan bahwa kota pahlawanmu telah membakar semangat agar tidak pernah memadamkan semangat untuk menulis.

 

 

 

Komentar