IJAZAH COVID?

 


IJAZAH COVID?

 

Setelah si bungsuku yang dibangku SD mengikuti ujian sekolah selama seminggu,  serasa hati ini berdegup. Bahasa tubuh yang kubaca menyiratkan sesutau dari perlilaku menghadapi ujian akhir. Sejenak berpikir, mungkin situasi sangat berbeda ketika menghadapi ujian akhir ( EBTA alian Evaluasi Belajar Tahap Akhir, entah nasional pun lokal). Semisal, sebulan sebelumnya aatau hakan dua atau tiga bulan siswa sipersiapkan degan belajar bersama. Belajar ketika itu setidaknya membaca buku-buku pelajar, mengerjaka soal-soal ujian terdahuu atau soal-soal dari guru. Kelanjutannya adalah membahas bersama. Kadang pula satu  minggu sebelumnya disebut sebagai minggu tenang.  Segala energi ( otak dan otot ) dipersiapkan.  Orang tua bahkan diwanti-wanti agar memberi waktu yang cukup bagi anaknya sekedar mempersipakan diri mengikuti ujian akhir dimaksud.

 

Hari-hari ini di masa pandemi covid yang belum juga berakhir ini,  dua tahun bertutur-turut ujian akhir digelar. Si bungsuku menghadapi ujian daring. Sebuah Ujian akhir yang jauh berbeda dari kakak-kakaknya. Dengan gawai di tangan, ia bisa saja mengikuti ujian di tempat tidur, di ruang tamu di atas sofa. Ia pun tidak harus duduk dengan rapih sebagaimana ujian akhir di sekolah. Sesekali ia menhabiskan kudapan di tangannya, dan ia sangat menikmati ujian akhirnya.Sepintas terlihat  situasi yang biasa-biasa saja, sama seperti hari –hari biasa.

 

Hal yang mengusikku yakni tanggapannya terhadap situasi ujian, sedangkan saya telah mengingatkan bahwa di Minggu ini mungkin harus lebih tekun belajar agar bisa mengikuti ujian daring. Hasilnya? Sesekali saja saya melihat ia membuka buku.harti kecilku bergumam, mungkinkah ia bisa menjawab dengan benar seluruh soal. Idealnya siswa harus mempersiapkan diri, namun kondisi saat ini juga menganjurkan saya untuk tidak memkasakan kehendak. Ketika mengikuti pembelajaran tatap muka, walaupun ia berjibaku dengan sejumlah mata pelajar, tetapi ia merasa nyaman dan gembira selalu bersama teman-temannya.

 

Saya pun tidak ingin mereduksi perkembangan psikisnya. Di masa sulit ( pandemi ini ) saya hendak membiarkan psikisnnya mengalami perubahan secara terus menerus (change over time), di antaranya perubahan aspek kognitif, sosial, moral, emosi, bahasa, intelektual, seni, dan agama. Belajar dari pengalaman hidup, saya tidak ingin jika ia harus kehilangan daya kreativitas yang akan terakumulais menjadi sebuah komptensi bagi kehidupannya kelak. Walaupun demikian, tidak semestinya pula membiarkan tanpa pengawasan. Ketiksa saya mengeceknya dari meja kerjaku di sekolah, ia hanya berujar,” Saya sudah kerja.” Yang dikmasudkan adalah telah selesai mengerjakan soal ujiannya.

Cerita tentang kondisi yang dialami anakku ini tidak jauh berbeda dari pengalaman keseharian sahabatku. Ia pun mengalami kondisi yang sama yakni kesulitan membimbing anaknya belajar di rumah. Beberapa orang tua siswa pun hampir “buang handuk” di kala anaknya lebih memilih “berasyik masyuk” dengan game online. Sampai sejauh ini ada penelitan tentang kualitas pembelajaran daring di masa pandemi , tetapi secara kualitatif pembelajaran daring belum memberikan hasil yang signifikan. Kita mesti tetap berusaha walau pendemi ini terus mengintai.

Ujian Akhir telah berakhir tetapi pandemi belum berkahir.Setiap siswa yang telah mengikuti ujian akan mendapat tanda tamat berupa ijazah. Ujian di masa covid  tetapi bukan ijazah covid.

Catatan Akhir Masa Ujian  Akhir, Medi 2021

***

 

Komentar