SISI LAIN KOLAM AIR MATA TOFA
SISI LAIN KOLAM AIR MATA TOFA
Aku baru selesai belajar kelompok pada pukul dua puluh
tiga nol-nol. Telepon dari ibuku sudah berdering sejak sejam yang lalu, tetapi
tugas kelompok belum tuntas. Saatnya aku harus kembali. Setidaknya, tugas
bersama ini sudah rampung. Namun, untuk kembali ke rumahku, aku harus melewati
kolam “Mata Air’, sebuah kolam tua di kelurahanku. Melewati kolam itu
menyeramkan karena dikitari pepohonan berusia ratusan tahun. Lagi pula di
jam-jam seperti ini tidak ada seorang pun di sana untuk mandi atau cuci. Mereka
biasanya ada di situ sebelum jam dua puluh nol-nol.
Aku memang baru pulang karena sejak sejam yang lalu
ibu sudah menelponku. Aku pun memberanikan diri pulang sednirian. Mendekati
kolam itu hanya terdengar gemericik air. Air itu mengalir dari kolam yang cukup
luas, menerobos lubang kecil dinding tembok. Terdengar sangat jelas. Aku pun
terus melangkah. Sabuah tangkai pohon yang menutup lampu jalan membuat jalanan
di samping kolam terlihat remang-remang. Jika tertiup angin maka jalanan
menjadi terang seketika. Saat ku tepat di bawah tiang listrik itu angin bertiup
menerobos dedauan sehingga seketika jalanan itu terang. Itupun hanya sebentar.
Jalan beraspal yang di samping timur kolom sudah
berlubang. Sedang di sekeliling kolam berdiri kokoh pohon-pohon berusia ratusan
tahun. Badai Seroja telah menumbangkan dua pohon besar. Menurut kisah sesepuh
di kelurahan ini, ketika mereka masih kecil pun pohon-pohon itu sudah besar.
Entah kapan usia pohon tersebut, tidak satupun tahu.
Di kala itu, mereka hanya menggunakan air di kolam itu
hanya untuk kepentingan minum dan mandi serta mencuci. Menjelang senja tidak
ada lagi yang berada di sekitar kolam tersebut. Tidak diperkenankan mengotori
lingkungan sekitar kolam tersebut. Beberapa anak meninggal di kolam saat mandi
di kolam tersebut karena tidak bisa berenang. Cerita kemudian berkembang jika
di tempat tersebut terdapat penunggu.
Keremangan kolam Air Mata mulai menyengatku saat
memasuki kolam tua itu. Bulu kudukku berdiri. Serasa berteriak karena bunyi
dedauan seolah menghempas rasa was-wasku. Belum lagi kodok yang melompat ke
arah semak membuatku semakin kaget. Aku mengepalkan tangan, dingin karena
berkeringat. Baru seumurku hidupku saya merasa takut. Tak peduli jalan
berlubang. Andai saja buku tugas di tanganku jatuh, pasti tidak kusadari. Aku
berlari-lari keci.Hendak berlari lebih cepat namun seketika terlihat sorot
lampu motor dari arah berlawanan. Aku menghentikan lari-lari kecilku. Namun
dada ini masih berdebar. Kini aku sudah tiba di rumah. Tak terasa bajuku basah
kuyup, bukan karena hujan tetapi keringat dari pori-pori tubuhku. Ketakutan
membuat tubuhku berkeringat.
“Melda, kamu kepanasan ya?” tanya ibuku.
“Iya, bu. Aku lari-lari biar tidak kedinginan,” kataku
menutupi ketakutan sewaktu di kolam Air Mata. ( Kupang, 28 Juli 2021 )
========================================
Beberapa jam semalam saya mempersiapkan materi ajar
tentang uraian deskriptif dan kalimat ekspresif. Setelah memahami konsep, saya
harus membelajarkannya keapada siswa secara daring.Di sinilah letak soal baru,
yakni apakah mungkin anak-anak hanya cukup memahami konsep uraian deskriptif
dan kalimat ekspresif. Jika itu yang terjadi, maka mungkin saja hanya sebagian
dari mereka yang bisa menganalisis unsur tersebut dalam sebuah teks cerpen.
Apalagi, materi ini merupakan aspek kebahasaan dari teks cerpen.
Pertanyaan lain, apakah mungkin mereka bisa
mendeskripsikan sebuah tempat, situasi, orang, barang, objek tertentu jika yang
tertanam di benaknya adalah konsep tentang unsur-unsur kebahasaan dari sebuah
teks cerpen. Sedangkan pebelajaran tentang sebuah teks akan berujung pada
keterampilan membuat teks tersebut. Dengan pembelajaran berbasis teks
diharapkan siswa diharapkan mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai
dengan tujuan dan fungsi sosialnya, bahasa Indonesia diajarkan bukan sekadar
sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang mengemban fungsi untuk
menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya
akademis.
Latar sekolah menjadi dasar pertimbangan untuk
mengajarkan tentang uraian deskriptif dankalimat eskpresif. Letak kolam Mata
Air hanya beberapa meter dari sekolahku. Kolam ini pun ramai dikunjungi
termasuk siswa-siswi di sekolah. Belum lagi di musim hujan, beberapa di antara
mereka belum kembali ke rumah jika belum bertandang ke sana. Kolam ini mungkin
menjadi objek menarik yang dikisahkan, itu pikirku. Selembar kisah itu pun
kuharap bisa disantap walau hanya dengan membaca beberapa menit. Namun yang
pasti bahwa pola pikir anak-anak setidaknya terbentuk, semisal mendeskripsikan
sebuah tempat atau situasi tersentu. Atau bahkan bisa mengekpresikan sesutau
yang sedang menyentuh perasaannya atau kehidupan pada umumnya dengan memilih
kata-kata yang tepat ( diksi ).
Semoga saja penggalan kisah di atas turut menylulut
hati dan pikiran anak agar dapat mewujdukan sebuah proses kreatif, dalam hal
ini menulis cerpen. Proses menulis kreatif menulis cerpen yang sesungguhnya
dimulai dari menggali ide, mengenal unsur-unsur fiksi, menjaring tema dan
topik, mencari judul, menyusun plot, membuka dan menutup cerita, memilih diksi,
dan menyunting.
Akhirnya, saya tiba di sebuah titik simpul bahwa
kreativitas merupakan potensi yang dimiliki setiap manusia dan bukan yang
diterima dari luar diri individu. Kreativitas yang dimiliki manusia, lahir
bersama lahirnya manusia tersebut. Sejak lahir individu sudah memperlihatkan
kecenderungan mengaktualisasikan dirinya. Dalam kehidupan ini kreativitas
sangat penting, karena kreativitas merupakan suatu kemampuan yang sangat
berarti dalam alur kehidupan manusia itu sendiri. Bagaimanapun itu adalah cara
saya untuk menyulut kreativitas anak-anak yang hari-hari ini sedang merindukan
guru-gurunya untuk belajar bersama di sekolah. Yang hari-hari ini belajar dari
rumah hanya karena lebih mengutamakan kesehatan dan keselamatan hidup.
Kupang, 29
Juli 2021
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!