DARI UKIM HINGGA GGM

( Nukilan Ide di Hari Guru Internasional )

( Oleh: Y. Joni Liwu, S.Pd)



 

Pada terik Oktober yang mulai memanggang  tanah Timor, rasa gerah mesti disiasati. Saya coba membuka-buka kembali produk literasi dasar menulis saya yang petama. Tujuh tahun silam, 2014, sebuah komunitas dengan nama  UKIM  alias (Uma Kreatif Inspirasi Mezra)  menggelar pelatihan menulis. Dengan kantor Bahasa NTT, beberapa siswa di SMPN 13 diberi pelatihan menulis. Karya sastra prosa genrenya dan cerpen jadi pilihan. Kami berkoordinasi, sehingga beberapa siswa  dengan tekun mengikuti pelatihan. Kegiatan tersebut terlaksana di Bukan Bahasa, Oktober. Aksi UKIM menjadi lebih bermakna, karena bukan saja keterampilan menulis yang dibenamkan pada anak-anak di SMPN 13 Kota Kupang, tetapi lebih dari itu, anak-anak mendapat asupan ilmu seni pentas. Jadwal pelatihan pun bervariatif menulis dan berlatih pentas. Alhasil, dua kegiatan tersebut berhasil dalam besutan sang satrawati Mezra E.Pellondow juga dua personil lainnya yang juga berlatar  guru. Karya cerpen anak-anak terangkum menjadi sebuah antologi berjudul “ Kado yang Tak Pernah Sampai.” Di Penghujung Bulan Bahasa itu anak sukses menggelar aksi teater di sebuah taman baca yang dihelat kantor bahasa sebagai penutupan bulan bahasa. Ibarat sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Sungguh aksi bermartabat sebuah sanggar sastra sangat berdampak bagi pertumuhan budi pekerti anak-anak. Dan lebih dari itu, mereka telah menggerakan literasi sebelum GLS digemakan.

 

Tentang  antologi cerpen perdana SMPN 13 Kota Kupang. Masih teringat dalam benakku kisah sedih atau galau yang ditulis salah satu siswa dan kemudian menjadi judul antologi tersebut. Dikisahkan, ia hendak menyampaikan kado ulang tahun kepada seorang sahabat, namun kado tersebut nyasar di tangan seorang sahabat kepercayaannya yang ia jadikan penghantar kado ultah.. Tokoh aku dalam cerpen tersebut berpikir jika kado telah sampai ke tangan sahabatnya, ternyata belum. Dalam alur cerita selanjunya, tokoh aku berharap ia mendapat tanggapan dari sahabatnya.Sehari, dua hari tidak ada tanda-tanda itu. Betapa ia sangat kecewa saat ia mengetahui jika kado tersebut belum diterima sahabatnya.

 

Siswa penulis cerpen tersebut hanya menulis, bahkan ia sendiri mungkin tidak tahu amanat cerita yang ditulisnya.Namun demikian, pembaca tentu bisa mencatat amanat untuk kehidupannya. Semisal, teman sejati itu sulit ditemukan, sulit ditinggalkan, dan tidak mungkin untuk dilupakan.Atau bahkan amanat lainnya. Banyak lagi cerpen lainnya yang sangat memberi makna bagi pembaca dan tentu bagi anak-anak peserta kegiatan menulis. Rupanya, karya anak-anak ini “mengompori saya.

“Apa kata dunia jika guru tidak bisa menulis?” aku membatin ketika hendak mengajar tentang menulis puisi dan dan cerpen. Berbagai literatur tentang menulis karya puisi dan prosa coba kulahap. Bermula dari coba-coba kemudian jadi keenakan, e..e.. jadi  kebiasaan. Beberapa tahun kemudian, ketika hadir mengikuti kegiatan guru menulis oleh Kantor Bahasa NTT. Bersama sahabat-sahabat guru ketika itu mengumpulkan cerpen dan puisi yang kemudian dibukukan menjadi sebuah antologi dengan judul “Buka Buku”. Bagi penulis pemula, tentu sangat senang  juga bangga memiliki buku ber-ISBN. Langkah mulai terpacu sehingga kumpulan-kumpulan puisi kujadikan anotologi puisi satu dan dua, sedangkan buku lainnya adalah antologi cerpen. Tiga buku perdana seolah membisikkan ke telingaku jika seorang guru busa menulis buku ber-ISBN. Di kala masa pandemi yang berdurasi hampir dua tahun,  telah terbit belasan antologi bersama sesama guru di  nusantara ini melalui sebuah WAG menulis.

 

Kebanggaan bukanlah sebuah mercusuar yang kemudian diagungkan orang. Tentu saja itu bukan tujuan menulis buku. Saya hendak mengusung sebuah  sebuah gerakan bagi para guru dalam konteks literasi. Gerakan itu disebut Gerakan Guru Membaca ( GGM ). Hal itu tidak berarti guru tidak membaca atau guru kurang membaca. Tetapi mengoptimalkan kegiatan membaca sebagai sebuah pembiasaan. Tidak diuraikan manfaat membaca, tetapi dampak kegiatan membaca tentu sangat dialami guru. Upaya mendongkrak profesionalitas guru bukan tidak mungkin melalui GGM.

 

GGM mesti dilihat sebagai  sebuah gerakan sepanjang hayat jika seseorang mewujudkan profesi yang berkualitas. Apapun profesi , bukan hanya guru. Satu hal yang pasti bahwa dengan membaca semakin meningkatkan kemampuan berpikir kritis.  Kemampuan berpikir kritis tersebut sangat penting bagi siapa saja apalagi bagi seorang guru.Hal tersebut akan sangat terlihat di kala seseorang menyusun sebuah argumen, memeriksa kredibilitas sumber, dan bahkan dalam mebuat sebuah keputusan.Guru misalnya tidak mudah terjebak dalam pemberitaan yang tidak benar ujung pangkalnya atau hoaks. Hal ini karena guru atau siapapun sering membaca. Dengan demikian, ia mampu memilah informasi hoaks dan akurat.Di tengah perkembangan Informasi dan teknologi melalui media-media sosial, setiap orang harus mempu memfilter pemberitaan sehingga tidak menyesat, atau atau berdampak pada konflik-konflik lainnya.

Menyoal format GGM tentu sangat bervariatif. Jika guru mengharapakan seorang peserta didik dapat mebuat resume terhadap sebuah bacaan (novel atau antologi cerpen misalnya ) maka guru pun harus bisa dengan cara tersebut. Gerakan ini semestinya diselaraskan dengan pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang hendak diwujudkan melalui Gerakan Literasi Sekolah ( GLS ).Oleh karenanya, pada saat GLS di laksanakan ketika itu pula guru berliterasi. Siswa abad 21 dituntut memiliki kompetensi literasi, maka sewajarnya pula guru sebenarnya satu langkah di depannya agar diguguh dan ditiru. Sangat ironis di kala seorang guru mendorong siswa berliterasi serta wajib membuat resume sedangkan ia sendiri belum membuktikan atau memberi contoh hal berliterasi tersebut.

Hari-hari ini peserta didik atau siswa-siswi sedang mengikuti Asesmen Nasional dengan bentuk soal yang mengintegrasikan literasi dan numerasi misalnya pafa stimulus soal. Betapa siswa-siswi yang jarang membaca akan sangat mengalami kesulitan memahami sebuah teks sebelum menjawab soal-soal AKM tersebut. Kita mesti jujur pula mengatakan bahwa guru juga mungkin mengalami keslutian yang sama. Sebuah indikator tentang rendahnya komptensi literasi. Mengusung GGM dalam hal ini tentu bukan saja sebagai sebuah ide tetapi lebih dari itu sebagai gerakan bermartabat demi profesionalisme guru.

Selain itu, dengan dengan mengilhami amanat guru bangsa  Ki Hajar Dewantara, maka guru di mana pun berada selalu memberi contoh. Entah di depan, di tengah maupun ketika memberikan dorongan dari belakang secara khusus tentang literasi. Di hari guru internasional, 5 Oktober,  tidak ada salahnya jika gagasan ini menjadi sebuah gerakan. Kita mesti mulai dari langka pertama sebelum menjangkau cita gemilang, mewujudkan guru profesional yang krtitis, kreatif dan inovatif.

 

Penulis, guru di SMPN 13 Kota Kupang

Komentar