HYMNE DAN ROMANSA DARI NEGERI SANDELWOOD



 

Walau sekali ke Pulau Sumba namun hari ini cerita tentang Pulau Sandelwood memneuhi relungku. Betapa tidak mengedit karya puisi siswa-siswa dari pulau dengan luas 10.710 kkm persegi itu menyiratkan pengalaman tak terperihkan tentang keindahan alam, sabana dengan ribuan ternak merumput, keindahan pantai bak gadis perawan desa molek besatari. Belum lagi tentang sungai-sungai melimpah pemberi hidup pun aneka budaya. Lagu, tarian, tenun ikat juga kearifan lokal hingga budaya “pudduk” alias cium hidup dari Sumba Timur turut dirajut dalam tulisan-tulisan siswa.

 

Seolah sambil menyelam minum air. Demikilah di kala mengedit karya anak-anak dari tiga sekolah di Pulau Sumba, saya menikmati keindahan dari puisi-puisi Diafan mereka. Saya seperti sedang  mengunjungi remaja dan rambu-rambu di SMAN Wewea Timur, SMKN 1 Weweja Barat, dan SMAN 1 Kodi di Sumba barat Daya. Kesan saya, mereka polos tetapi memilki ide. Terbukti ketika begitu banyak ide tersurat dari puisi-puisi juga cerpen. Sebuah suguhan yang pasti yakni menulis itu muda. Bagi siapapun. Yang membuat seseorang sulit menulis itu karena belum mulai menulis. Oleh karena itu, mulaiah menulis.

 

Media Cakrawala Pendidikan NTT ( MCPN ),  sebuah komunitas literasi yang bergiat dan menggerakan literasi telah menyulut hasrat berliterasi itu hingga ke Pulau Sandelwood. Dlama nafas menyiapkan generasi emas, peluh mereka telah membasahi tanah Sumba. Alhasil anak bangsa di pulau Pasola memberi bukti.tentu saja tersirat dari karya-karya tulis mereka.Mereka menjadikan hidup dan kehidupan sebagai tema  tulisan. Mereka menautkan ekpresi batin hingga tercurah sebagai sebagai sebuah karya tulis. Bahwa soal tulisan itu telah berwujud atau masih menjadi embrio itu soal kedua, tetapi motivasi yang menggerakan mereka untuk menulis, itu yang utama.  Dan semuanya telah  tercurah dalam irama denting tali kecapi batin alias puisi pun juga cerita-cerita singkat. Tersematlah karya berwujud hymne dan romansa. Kedua wujud puisi moderen ini mendominasi karya mereka. Mungkin saja  sosok yang selalau dan sangat menyentuh  hati dan nurani mereka adalah Ibu dan guru. Kisah yang terpendam telah ditata melalui  kegiatan inspiratif tersebut. Simpulku, Sang Khalik tidak pernah menciptakan  manusia “namkak” alias bodoh dan sejenisnya. Ia menciptakan sesuai gambar dan rupa-Nya. Karenanya, berbagilah agar kita saling melengkapi. Dengan literasi  MCPN telah berbagi. Masikah kita tepekur alais tafakur?

Salam Literasi, Salam Sumpah Pemuda

Kupang, 28 Oktober 2021

Komentar