MENGGAGAS DARI REALITA
MENGGAGAS DARI REALITA
(
Catatan Reflektif Kegiatan Beda Buku Menulis Kata, menulis Asa)
Dua puluh orang guru SD dan SMP se Kota Kupang tidak sedang berjibaku
dengan pembelajaran tatap muka hari ini ( 12/11/ 2021 ). Mereka juga tidak
sedang bermimpi tentang wajah pendidikan Kota Kupang karena dedikasi mereka
hanya untuk sebuah peradaban anak bangsa. Mereka hari ini sedang melukis wajah
kota Kupang. Lukisan-lukisan tersebut berwujud narasi atas wajah kota di era
kepemimpinan punggawa ( baca: Wali Kota dan Wakil Wali Kota ) kota ini. Siapa
lagi kalau buka Jefri Riwu Kore dan Herman Man. Dua sosok yang hari-hari ini
memimpin warga Kota Kupang hampir dari berbagai daerah kepulauan NTT.
Para guru tersebut telah mengatakan semua yang dilihat, dialami hingga
mengetuk pintu hati sebagai seorang guru dan pendidik. Pengalaman indrawi
tersebut berkelana di ruang kreatif dan menjelma menjadi tulisan ilmiah populer
di samping feature.
Di kala berziarah dengan segala rutinitas, sesungguhnya akal dan nurani
secara tidak sadar telah merekam setiap aura pembangunan di kota dengan titel
smart city ini. Oleh karena itu, 25 tulisan yang terangkum dalam buku berjudul
“MELUKIS KATA, MENULIS ASA, Potret Kota Kupang dalam Catatan Para Pendidik
Generasi,” juga mengurai fakta sekaligus mengkritisi kota yang tengah giat
mendandani wajah kota dengan berbagai taman.
Taman kota , demikian salah seorang guru penulis, mengemban fungsi sosial.
Bahwa bukan tidak mungkin hadirnya taman kota ataupun taman-taman lainnya
memberi ruang tersendiri bagi warga kota untuk sekedar berkomunikasi. Di aras
inillah bisa tewujud semangat persaudaraan walau dari etnis, ataupun pulau
berbeda. Upaya gencar mendandani wajah kota ini dapat dilihat sebagai landmark,
juga demi menambah estetika. Hal tersebutpun akan berdampak menyedot animo
waisatawan mancanegera maupun domestik untuk bertadang ke Kota dengan enam
kecamatan ini.
Dengan sedikit pengetahuan pun juga praktik baik tentang literasi di
sekolah, saya mengusung dua tulisan dalam buku setebal seratus lima puluh
halaman tersebut. Tulisan pertama bertajuk “Sekolah Literasi: Pijakan Awal
Menuju Kota Literasi. Sesuatu yang terbetik di pikiran saya, yakni bahwa
literasi sudah saatnya menjadi sebuah kecakapan baru di abad ke-21.Namun
demikian, asumsi ini sangat membutuhkan sinergitas dari berbagai pihak.
Pengalaman kelam tentang rendahnya tingkat literasi secara global lokal telah
memberi bukti. Sebuah kondisi secara tidak langsung dapat disandingkan dengan
virus yang merusak sel darah seseorang. Akibatnya manusia kemudian lunglai,
tidak berdaya.Jika ini terjadi tentu sangat ironis karena warga bangsa ini
sebenarnya telah mengetahui bahwa literasi ( literasi dasar ) telah menjadi
jembatan menuju sebuah kemajuan tetapi diabaikan. Mestikah lembaga pendidikan
tetap terlelap dalam kenyamanan? Mesti disadari bahwa sesungguhnya seseorang
atau warga di jagat ini akan mereguk kemajuan jika ia memang harus keluar dari
zona nyaman.
Gagasan lain menurut saya yakni upaya konkret yang dapat dilakukan setiap
sekolah dalam skala sangat sederhana yakni dengan membentuk Tim Literasi
Sekolah ( TLS ).Sebuah wadah yang dapat menjadi penggerak literasi sekolah.
Beberapa sekolah dengan tenaga pendidik yang berkompeten dalam hal menulis (
fiksi atau nonfiksi ) dapat pula membentuk wadah berwujud komunitas. Hal kecil
tetapi berdampak besar bagi kemajuan siswa –siswi atau peserta didik.
Pada bagian lain, kota kupang yang bermetamorfosis menjadi Kota Pintar
alias smart city, sebenarnya sangat memberi ruang dan waktu bagi penduduk di
kota ini agar berbenah diri dalam berbagai aspek. Berliterasi menjadi sebuah
peluang. Benar bahwa masih terlihat kekurang di sana-sini, tetapi bahwa peluang
itu janganlah dibuang. Bukankah peluang itu hanya datang sekali?
Pada judul lain “Gema Literasi di Tengah Kota Pintar,” saya hendak mengetuk
hati dan perhatian para pemangku kepentingan bahwa roh dan semangat berlietari
itu telah ada dalam berbagai komintas literasi di kota ini.Namun demikian,
mereka hampir pasti berjalan dalam kesendirian. Bahkan bukan saja
komunitas-komunitas literasi, Tim Literasi Sekolah ( TLS ) tetatih-tatih dan
berpeluh. Keterbatasan selalu terlihat di sana-sini. Guru dan siswa atau
peserta didik misalnya, telah kerkeringat menulis tetapi ikhwal mengabadikan
tulisan-tulisan ( fiksi dan non fiksi ) hanya tetap menjadi mimpi.
Tahun 2022, Kota Kupang hendak berevolusi lagi menjadi Kota Literasi.
Sebuah gagasan yang membutuhkan komitmen dan kerja keras semua warga kota di
masa pemerintahan Bapak Jefri Riwu Kore sebagai Wali Kota Kupang dan Wakil Wali
Kota Herman Man.Ini bukan sebuah isapan jempol belaka. Dalam sambutannya, Wali
Kota Kupang pada acara Beda Buku Melukis Kata, Menulis Asa, ( 12/11/2021) telah
mengikrarkan Kota Kupang sebagai Kota Literasi di tahun 2022. Gema ini
semestinya merasuk hingga nurani setiap warga kota untuk melihatnya sebagai
sebuah kegiatan bermoral. Atau paling kurang setiap pelajar di sekolah-sekolah
telah mengilhami roh dari literasi dasar, memabaca dan menulis. Berandai saja,
jika 143 SD negeri dan swasta serta 50 SMP Negeri dan sawasta di Kota Kupang
menghasil sebuah buku untuk tiap semester, maka selamat setahun saja telah
tercetak 193 judul buku. Itu belum termasuk karya para guru. Sebuah kemungkinan
lain jika setiap komunitas menghasilkan beberapa buku maka bukan tidak mungkin
buku yang tercetak mendekati 500 judul buku atsu bahkan menjafi 1000 judul buku
tisp tshunnya. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi melitanii alasan klasik
bahwa siswa dan guru tidak bisa membaca karena keterbatasan buku.
Niat baik ini telah disemai penggagas BMPS ( Badan Musyawarah Perguruan
Swasta ) NTT dan MCPN (Media Cakarawala Pendidikan NTT) hingga karya buku
mereka dibedah. Niat baik melalui praktis baik literasi bahkan juga telah
dilakaukan berbagai komunitas literasi di Kota Kupang. Seorang Wali Kota Kupang
Jefri Riwu Kore sangat mengapresiasi kerja keras guru-guru tersebut. Ia pun
berkomitmen bersinergi dengan semua barisan “Pejuang Literasi” di Kota ini agar
dapat mewujudkan Kota Kupang sebagai Kota Literasi.
Tak kurang dari seorang Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang,
Dumuliahi Djami, juga tidak memungkiri jika para guru di Kota Kupang telah
memiliki kompetensi menulis. Hal yang dibutkikannya kepada Wali Kota Kupang
yakni buku-buku yang terpajang di aula lantai 2 Kantor Dinas Pendidikan dan
kebudayaan Kota Kupang merupakan karya guru dan siswa di Kota Kupang. Bebarapa
karya antologi solo saya dan antologi bersama turut dipajang pada almari baca,
turut merias ruang bedah buku.
Guru-guru telah memulai, menulis apa adanya, merekam jejak dan geliat
pembangunan Kota Kupang. Mereka melukis dengan cara tersendiri tanpa
terkontaminasi dengan berbagai iming-iming, atau bahkan terkontaminasi aroma
politik.Karena bagi mereka menulis itu menyajikan sebuah kejujuran hati.
Kejujuran sebagai sebuah karakter iu akan mengabadi atau mengekalkan gagasan.
Gagasan yang tersaji dalam ”Melukis Kata, Menulis Asa” mesti dilihat sebagai
tonggak awal memacu kreativitas guru dalam menulis. Tonggak awal ini pula harus
mampu mengompori para guru di Kota Kupang, melangkah bersama mewujudkan Kota
Literasi.
Jika membaca dan menulis telah menjadi kegemaran bukan tidak mungkin tumbuh
inovasi-inovasi baru sebagai dampak dari literasi dasar tersebut. "Guru
harus tetap menulis hingga bernapas dengan kata-kata,” demikian, Gusti Rikarno,
petinggi MCPN. Atau bahkan guru harus selalu menulis bukan hanya ketika hendak
mengajukan kenaikan pangkat. Demikian pun dosen, akan menulis ketika hendak
mendapatkan renumreasi.Karenanya jangan menjadi penulis pisang, berbuah sekali
setelah itu mati, demikian Dr. Marsel Robot, salah satu nara sumber dalam acara
bedah buku tersebut.***
( Joni Liwu, Guru SMPN 13 Kota
Kupang )
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!