BAOBALA, RITUAL BUDAYA MEMESONA

 

Bao bala adalah nyanyian ungkapan kegembiraan disertai Tandak ( injak padi ). Ketika panenan berlimpah atau orang mendapat padi yang banyak,maka harus pula mengundang banyak orang. Orang-orang itu hadir untuk menandak padi yang masih berbulir. Padi banyak memungkinkan orang untuk membeli gading. Gading ipada zaman dulu hingga sekarang merupakan barang yang tak ternilai harganya atau sangat mahal. Memiliki gading atau mampu membeli gading sangat menunjukkan status sosial seseorang. Sehingga orang yang panenannya berlimpa memungkinkan ia untuk membeli gading.

 

Pada saat menandak padi dari hasil panenan yang berlimpah tersebut gading disematkan pada dahan pohon beringin . Pohon beringin dalam bahasa daerah Hewa (bahasa yang digunakan di Desa Hewa, Boru, Flores Timur) adalah Bao, dahan itu kleren, gading itu bala. Jika beringin disematkan gading disebut bao kleren bala.Sisi lain dari Bao Kleren Bala tersebut yakni tuan kebun harus bermurah hati: wine Naha li'u Teli beting, ga higun. Secara harfiah bermakna seorang saudari dapat menjunjung wadah berisi padi yang terberkati, sehingga ia layak makan nasi dari padi yang dipanen perdana.

           

Wine bermakna saudari,li'u itu menjunjung sebuah wadah bertali yang ditautkan ddari kepala,sedangkan teli adalah sejenis wadah dibuat dari daun lontarberbentuk tabung dengan ukuran bervariasi. Keberhasilan tuan kebun yang ditandai dengan panenan berlimpa tersebut harus disyukuri bersama.Selanjutnya, seudah pula menjadi kewajiban jika keberhasilan itu tidak boleh dirahasikan atau dalam bahasa Hewa disebut Opo meta (dilarang merahasiakan). Seungguh sebuah warisan budaya yang juga mengajarkan tentang hal memberi bagi yang memiliki atau berkelimpahan dari ritual baobala.

           

Masih menyoal Baobala sebagai nyanyian yang menggembirakan. Nyanyian akapela dengan syair berwujud pantun kilat tersebut belum dibukukan hingga sekarang. Itu berarti hanya diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, larik-larik tersebut selalu mengandalkan ingatan. Baobala hanyha dapat dilagukan saat pesta panen. Di atas tikar besar saat pasangan yang berduet sambil menandak bulir-bulir padi, akan terdengar beragam larik berwujud pantun kilat. Menarik, karena beragam tema, dari cinta hingga nasehat-nasehat bijak meluncur dengan sendirinya dari mulut para pelantunya. Keseruan semakin terlihat kala pasangan-pasangan yang berduet tersebut melantunkan larik-larik baru secara bersahut-sahutan. Sebuah larik dari pasangan sebelumnya harus dijawab oleh pasangan-pasangan berikutnya, tetapi larik-larik itu mengusung tema yang sama. Jika demikian maka akan berwujud sebuah cerita penuh makna, walau kadang dibumbui kejenakaan.

 

Baobala yang dilagukan kaum muda akan berbeda dengan kaum tua. Hampir pasti kaum tua yang makan garam tentu akan cepat menanggapi baobala yang dilantunkan kaum remaja dengan diksi simbolis, sarat makna, padat berisi. Keseruan mendengar larik-larik itu tidak saja menjadi perhatian para petandak tetapi juga semua hadir termasuk kaum perempuan.

Pada sekali tandak untuk ukuran beberapa karung padi ada jeda waktu yang disebut hawung. Saat itu, orang lain yang tidak terlibat dalam menandak padi akan memberishkan bulir padi dari tangkainya. Saat jeda pula para pelantun baobala akan merefleksi kesalahan atau kekeliruan saat berbaobala. Situasi yang sangat bersahaja memungkinkan siapapun merekatkan persaudaraan, kekeluarga. Kegembiraan saat menandak padi dengan baobala menjadi kegembiraan bersama, di saat itu pula wujud kebersamaan terpatri.

 

Sekelumit Larik Baobala

 

Pilihan-pilihan kata baobala memesona, bak memilih dan memilin diksi pada sebait puisi. Jika pengantar atau oret oleh seorang pemimpin, maka pasangan-pasangan baobala sudah harus menyambung oret tersebut dengan larik-larik bermakna simbolis atau setidaknya larik-larik itu harus mengusung tema pada oret tersebut. Keindahan bahasa sastra itu menambat batin semua yang hadir. Baobala bak kecapi batin, dentingmu membahana hingga setiap orang yang mendengarnya akan menulis dalam sanubarinya, bahwa baobala nanyian hati kan tetap terwaris.

Beberapa larik dengan empat kata per baris namun merupakan kata-kata pilihan, sehingga walaupun dinyanyikan hanya saat pesta panen, namun tetap menyiratkan makna bagi kehidupan.

Pati tadan ladur habun.

Godo rongon ripa ira,

Sile ira dira lima.

Lamen hai wain blaan,

Bati rani poto plikut.

Doler luat doler waun

 

Pada baris pertama untaian larik di atas Pati tadan ladur habun, secara harfiah bermakna memotong sebuah pohon yang bernama ladur untuk memberi tanda, namun pada pohon tersebut tumbuh dahan yang masih muda. Larik ini biasanya dilagukan kaum remaja. Kaum remaja yang sedang bersimpati satu terhadap yang lain. Rasa simpati itu kemudian diungkapan dengan caranya masing-masing, semisal memberi salam atau pun dengan cara lainnya.Dengan menyampaikan rasa hati seperti itu, pratanda mereka saling bersimpati atau mencintai satu terhadap lainnya.

 

Godo rongon ripa ira,merangkan di celah-celah rerumputan, Ira, sejenis rumput ilalang dengan kedua sisi daun yang tajam. Dapat pula dimaknai sebagai anjuran untuk berhati-hati, selalu waspada dalam melakukan sesuatu, apalagi jika seeseorang dalam situasi yang sangat mengancam keselamatannya. Larik itu kemudian dilanjutkan dengan, sile ira dira lima, yang bermakna jika tidak waspada akan tangan ataupun badan akan tersayat daun yang tajam tersebut.

Lamen hai wain blaan, Bati rani poto plikut. Secara harfia bermakna siapakah remaja putra yang bernyali, memotong bambu untuk dijadikan tangga pada pohon lontar agar dapat menyadap nira. Lebih bermakna siapa lelaki ( muda ) yang rajin dan bernyali, akan sanggup menggapi cita atau keberhasilan. Ibarat seorang penyadap nira pohon lontar, akan mendapatkan nira tetapi ia harus memanjat dengan menggunakan tangga dari bambu yang ditambatkan setinggi pohon lontar.

Dan masih banyak lagi larik-larik padat makna dari baobala.

 

Diksi baobala, tidak sekedar puitis dan bermakna simbolis, tetapi mengajarkan tentang kehidupan. Memberikan nasehat sebagai suluh hidup di negeri warisan leluhur. Setidaknya, mewariskan petuah leluhur bagi anak cucu dalam menata kehidupan.

 

Kupang, 30 Oktober 2020.M

 

Komentar