BDR dan Harap-Harap Cemas

 

Kisah Belajar di masa pandemi

 

BDR dan Harap-Harap Cemas

 

BDR alias Belajar Dari Rumah merupakan  sebutan Pembelajaran Jarak  Jauh yang diberlakukan di kotaku. Penyebutan singkatan ini di awal-awal masa pembelajaran karena covid-19 menjadi familiar karena lebih mudah, dibanding WFH ( Work From Home ), ataupun sitilah-istilah lainnya. Terlepas dari jenis apapun yang disematkan oleh sebuah instansi pendidikan, BDR harus diterjemahkan sebagai bentuk pembelajaran yang harus dilaksanakan di rumah. Dengan demikian, setiap rumah peserta didik telah memiliki peran ganda, selain fungsi utama juga sebagai sekolah, setidak-tidaknya sebagai sekolah sementara.

            Terhadap status rumah sebagai sekolah sementara itu, tentu orang tua pun harus berperan lebih di antaranya sebagai fasilitator, guru bimbingan selama anak melakukan kegiatan pembelajaran yang disebut dengan BDR. Kondisi seperti ini harus diterima dengan lapang dada kalau tidak disebut sebagai sebuah keharusan bagi orang tua.

            Masa-masa awal pemberlakukan BDR belum terlihat gejolak. Betapa orang tua sangat dengan lapang mengikuti petunjuk juga himbaun sekolah ikhwal BDR. Melalui pertemuan dengan pihak sekolah, disepakati BDR dapat dilakukan secara daring ( Dalam jaring ) dan Luring ( Luar jaring). Sebagian besar orang tua lebih memilih daring. Hal ini ditunjang dengan kepemilikan gawai yang dapat mengunduh aplikasi pembelajaran yang ditawarkan. Namun demikian, sebagian kecil orang tua memilih pembelajaran luring bukan karena tidak memilihi gawai, tetapi lebih kepada jenis gawai yang dimiliki tidak dapat menggungga jenis aplikasi apapun. Jenis gawai yang dimiliki hanya dapat digunakan untuk berkomunikasi saja.

Kedua jenis pilihan BDR ini menjadi dasar bagi sekolah untuk memberikan perlakukan yang berbeda. Terhadap orang tua yang memilih BDR Luring, sekolah harus memperbanyak bahan ajar atau LKPD ( Lembar Kerja Peserta Didik ) untuk dibagikan kepada peserta didi melalui orang tua. Selanjutnya ditentukan pula waktu yang tepat bagi orang tua ke sekolah untuk menerima bahan ajar atau LKPD bahkan mengembalikan.  Segala kegiatan yang terjadi antara orang tua dan guru selalu mengikuti protokol kesehatan.

Terhadap pilihan BDR Daring, sekolah kemudian memilih pembelajaran melalui aplikasi Google Class Room ( GCR ). Beberapa pertimbangan, GCR tidak membutuhkan proses instalasi khusus. Penggunaannya cukup dengan menggunakan akun email google masing-masing. Fitur dan menunya pun tidak begitu rumit sehingga mundah digunakan guru maupun siswa. GCR adalah sebuah layanan produk G Suite Education, yang dapat diakses melalui web dan bisa juga diunduh aplikasi seluler.

Pembelajaran online ini dimulai dengan pembuatan kelas di Google Class Room. Karena saya mengajar bahasa Indonesia di lima kelas pada kelas sembilan maka nama kelas itu adalah Bahasa Indonesia 9 A,B,C,D, dan kelas 9 E. Setelah kelas dibuat maka langka selanjutnya memasukkan siswa ke dalam kelas. Kepada siswa diberikan kode kelas melalui WhatsApp yang telah dbuat oleh masing –masing wali kelas. Selanjutnya dengan kode tersebut guru dan peserta didik dapat melakukan pembelajaran secara daring. Guru dapat mengirim materi pembelajaran demikian juga dengan tugas.Ketika peserta didik mengirimkan tugas, guru pun dapat memeriksa, memberi nilai, dan menyerahkan kembali hasil pemeriksaan diserta tanggapan.

Litani Sendu

            Pekan-pekan bertama BDR dengan GCR, belum terlihat keluhan-keluhan orang tua. Pekan kedua pelaksanaan BDR melalui GCR mulai menuai masalah. Peserta didik melalui WhatsApp melitanikan permasalahan yang dihadapnya. Bahkan karena permasalahan-permasalahan itu hampir sebagian peserta didik belum mengirimkan jawaban melalui GCR. Tidak demikian dengan BDR Luring. Setiap orang tua sesuai waktu yang ditentukan datang ke sekolah dan menyerahkan jenis pekerjaan anaknya.

            Para guru di sekolahku pada rapat evaluasi pembelajaran kemudian mengurai sebab musabab kemandekan pengiriman jawaban LKPD melalui GCR. Beberapa soal yang dapat diidentifikasi. Soal yang sangat mendasar adalah kepemilikan gawai. Sebagian besar menjelaskan jika keterbatasan gawai di rumah menjadi alasan, Di saat yang sama, maksudnya ketika pembelajaran daring, gawai yang sama digunakan oleh kakak atau saudara-saudara yang lain untuk kegiatan yang sama. Atau bahkan gawai yang sama harus digunakan salah satu irang tuanya berkantoran. Praktis hanya bisa digunakan bila orang tua sudah kembali ke rumah.

            Terhadap beberapa orang yang menggunakan gawai yang sama tentu pula berdampak pada kuota internet. Sesuatu yang tentu sangat berbeda dari keadaan-keadaan sebelumnya, yakni kuota internet hanya digunakan pada satu dua aplikasi seperti facebook atau WhatsApp saja. Alasan kedua ini menjadi kendala terbanyak orang tua yang menjadi catatan para wali kelas. Tetapi kondisi yang sangat runyam hingga pekan ketiga pelaksanaan BDR daring yakni bahwa tidak ada kabar berita dari orang tua ataupun  peserta didik. Praktis ini membuat guru bekerja ekstra untuk mengetahui keberadaan. Kontak melalui gawai kadang mendapat jawaban tetapi banyak pula mengumbar janji. Hingga pekan keempat pun guru belum mendapatkan informasi. Guru bak mendapat buah simalakama. Hendak melakukan kunjungan rumah itu berarti menyalahi protokol kesehatan, membiarkan peserta didik tentu pula melepas tanggung jawab moril. Suatu pengalaman yang sangat berbeda dengan pembelajaran secara tatap muka.

Tensi harap-harap cemas itu dari BDR Daring menurun kala kebijkan Kemendikbud memberikan kuota internet kepada siswa pun mahasiswa. Terhadap peserta didik yang sangat kesulitan mendapatkan data internet tentu menjadi prioritas. Dengan  kuota internet tersebut, sedikit banyak memperlancar BDR. Namun demikian, pemberian kuota internet tersebut hanya bisa membantu sebagian kecil peserta didik, belum menjawab seluruh kesulitan peserta didik soal kuota internet. Masih menyisahkan segenlintir peserta didik yang masih jauh panggang dari api. Setelah didentifikasi ternyat  masa pandemi covid 19 ini diterjemahkan sebagai masa libur. Pemahaman yang keliru ini lantaran tidak mendapat bimbingan dari orang tua. Segelintir peserta didik tersebut adalah mereka yang menumpang hidup bersama orang lain. Mereka tidak mendapat sentuhan –sentuhan semisal perhatian dan tentu pula bimbingan baginya saat mengiktu BDR. Syukur jika ia mengetahui tugas yang diberikan guru melalui temannya, tetapi jika informasi itu tidak terbersit sedikit pun di telingannya, ia seolah-olah sedang melitani masa liburan pandemi covid 19. Sungguh sangat disayangkan, betapa masih banyak anak-anak bangsa ini masih membutuhkan bantuan tetapi suara nan sendu itu hanyut gema covid yang hari hari ini semakin menakutkan.

            Yunita, bukan nama sebenarnya, salah seorang siswi pada kelasku, baru mengumpulkan beberapa LKPD pada pekan keempat September setelah pembelajaran BDR dengan GCR dilaksanakan sejak akhir juli. Ia bergabung ke GCR dengan email ibu kandungnya. Namun sejak awal tahun pembekajaran,  ia harus tinggal bersama neneknya karena ibu kandung menikah lagi setelah ayahnya meninggal. Ia bagai mendapat juru selamat melalui tetangganya. Bersama seorang ibu rumah tangga ia ke sekolah untuk mendapatkan sejumlah materi pembelajaran secara manual yang selama ini dikirimkan melalui GCR.

            “Saya prihatin dengan keadaannya,” demikan itu menyampaikannya kepada saya sebagai wali kelas.

            “Saya mengetahui ia siswa kelas sembilan, tetapi saya tidak pernah melihat aktivitas belajar di rumah. Saya baru mengetahui jika tugas itu dikirim melalui ibu kandungnya, tetapi sejauh itu pula ibu kandungnya tidak pernah menyampaikannya,”demikan ibu berhati mlaikat itu menjelaskan.

            “Saya menyampaikan terima kasih atas kepedulian dan perhatian yang sangat dari ibu untuk anak ini.Saya sangat mengharapkan bantuan ibu untuk membantunya, cukup dengan menunjukkan tugas-tugas yang diberika melalui GCR,” demikian kata memohon.

            Kumelihat sembab di mata Yulia melihat kemurahan hari tetangga di saat ia sangat kehilangan sandaran hidup. Saya meyakani sendu hati Yulia karena tak pernah membayangkan ibu itu tutut berbagi kasih sayang dan perhatian. Hingga di titik ini kuhanya merenung, bahwa berbagi bukan tentang seberapa harganya hal yang kau beri, namun seberapa tulus dan ikhlasnya apa yang hendak diberikan. Ibu itu tekah berbagi juga memberi perhatian kepada Yulia. Andaikan seluruh bangsa ini ingin berbagai, betapa damainya bangsa ini. Pademi Covid 19 telah mengetuk hatinsesama juga mengajarkan kasih sayang kepada setiap kita. Jika demkian, apakah covid 19 sebuah peluang  atau sebuah ancaman?

Pemberlakuan BDR diharapkan dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif di masa pandemi, namun sejauh itu banyak noktah sebagai kendala yang mencemaskan tertulis di dalamnya. Kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengurai agar pendidikan bangsa tidak terseok-seok karena Pandemi Covid 19 yang menghujam ***

 

Penulis, Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 13 Kota Kupang.

 

Komentar