BERTANAM
BAMBU DARI KAMAR HOTEL
“Gerah,” ungkapan spontan seorang
sahabat dari kampung halaman ketika menginjakan kaki di Kota Kupang di
penghujung Maret. Padahal mestinya ia merasakan sejuk apalagi kota Kupang masih
diguyuri hujan. Warga Kota Kupang tentu berbeda halnya. Kesejukan karena
mendung walau sebentar tentu sebuah suasana menggebirakan. Belum lagi kalau
hujan, betapa batin tesentuh karena kesejukkannya. Kesejukan yang mungkin
sangat berbeda kualitasnya sebagaimana yang dialami sahabatku. Daerahnya memang
sejuk.Hampir setiap pagi halaman rumah bahkan perkampungannya digelayuti
mendung. Tak jarang embun menjadi tetes air di dedauan halaman rumah juga
menetes dari atap rumah di kala pagi.
Kegerahannya halaman hotel
sebelumnya kemudian menghantar kami
dalam diskusi di sebuah kamar hotel
di Jl. Piet A.Tallo,Oesapa, Kecamatan
Kelapa Lima Kota Kupang. Tak terasa gerimis magrib kemarin sore telah memupus
kegerahannnya. Karena ia sahabat sekampung, duskusi ngalor ngidul mengerucut.
Kegerahannya mengingatkan kesejukan di kampung halaman yang sungguh jauh
berbeda pada masa kini. Dan lebih dari itu,debit air sungai yang mengitari
kampung halaman kami semakin berkurang. Memory kami terpaut renag ketika jam
pelajaran olah raga. Semua kami harus menuju ke sungai untuk mandi bersama,
beajar berenang. Lalu selesai, kami pun kembali mengikuti pelajaran
selanjutnya. Kala itu terlihat genangan air berbentuk kolam-kolam, dengan air
yang jernih. Maklumlah debit air sangat banyak.
Hari-hari ini, bagi warga kampung
seusia kami pun yang mendahului kami akan terenyuh melihat debit air yang
berkurang. Kami mengurai beberapa penyebab selain kurangnya faktor curah
hujan.Namun upaya preventif sebelum debit air semakin berkurang menjadi hangat
dalam diskusi kami. Pertama, bahwa hampir seluruh kawasan pada Daerah Aliran
Sungai ( DAS ) yang rata-rata ditumbuhi pohon berakar tunggal. Pohon berakar
tunggal tidak mampu menyerap air sebagai cadangan. Akan lebih baik jika
ditanami pohon beraka serabut. Dan pilihan pada jenis tanaman bambu.
Diskusi sambil menyeruput kopi
seduhan tanpa gula pun beralasan. Bahwa secara ilmiah dapat dijelaskan. Philip
Mahalu dari CIFOR, dilansir kompas.com menyebutkam kalau tanaman bambu menyerap
90% air hujan, 10% menguap. Sementara dari situs Bamboe Indonesia menyebutkan,
berdasarkan riset dari ahli bambu LIPI Prof Elizabeth A Widjaja kalau peran
bambu sangat penting. Apalagi 12% jenis bambu dunia yang berjumlah 120 spesies,
ada di Indonesia.
Bambu memiliki keunggulan, di
antaranya adalah tumbuhnya yang cepat, lebih fleksibel dibanding kayu dan
multiguna. Bambu mampu menghindari erosi, memperbaiki kandungan air tanah dan
renewable-sustainable. Peneliti Walter Liese menyebutkan produksi biomassa
tujuh kali lipat dari pohon lainnya dengan prodikso 50-100 ton setiap ha.
Bahkan di negara Tirai Bambu
alias Cina telah melakukan penelitian tentang bambu. penelitian di China
menyebutkan kalau hutan bambu mampu meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah
hingga 240% jika dibandingkan hutan pinus. Penghijauan dengan bambu pada bekas
tambang batu bara di India mampu meningkatkan muka air tanah 6,3 meter hanya
dalam 4 tahun.
Berdasarkan laporan penelitian
tentang hutan di China, dedaunan bambu yang berguguran di hutan bambu terbuka
paling efisien di dalam menjaga kelembaban tanah dan memiliki indeks erosi
paling rendah dibanding 14 jenis hutan yang lain.
Demikian juga dengan penelitian
Prof Koichi Ueda dari Kyoto University menyebutkan, kalau sistem perakaran
bambu monopodial sangat efektif di dalam mencegah bahaya tanah longsor. Hutan
bambu dapat menyerap CO2 sebanyak 62 ton/ha/tahun, sementara hutan tanaman lain
yang masih baru hanya menyerap 15 ton/ha/tahun. Bambu juga melepaskan oksigen
sebagai hasil fotosintesis 355 lebih banyak dari pohon lain.
Selamatkan Napun Nakat
“Sungai besar di Desa Hewa, Kecamatan
Wulanggutang, Kabupaten Flores Timur, dengan puluhan anak sungai mesti
diselamatkan,” aku membatin. Terbaca pula dari raut wajahnya.Kami pun jeda
menyeruput kopi.
Dari sungai-sungai yang mengalir
saat ini di kampung halaman, pilihan kami pada sebuah sungai yang berasal dari
puluhan mata air di pengunungan. Debit air sungai tersebut kini semakin
berkuang. Sebut saja Napun Nakat ( nama sungai ) di samping desa tersebut yang
merupakan induk dari puluhah anak sungai dar Gunung Wuko. Sungai yang sekarang
dibendung untuk mengairi persawahan. Di musim kemarau misalnya, karena
kekurangan air di bendungan, warga harus berebutan menapatkan air untuk
mengaliri sawahnya atau bahkan hanya mengelus dada.
Simpul sederhana, yakni jika
negara –negara di belahan bumi lain telah membuktikannya, mengapa kitas mesti
memilih pinus. Ia kemudian mengabarkan jika beberapa kelompok peduli lingkungan
di kampung halaman melakukan reboisasi
dengan menanam pohon pinus. Jika tujuannya adalah menghijaukan itu mungkin,
tetapi jika hendak mempertahankan debit air apalagi ketersediaan air di mata
air maka tanaman bambu mesti menjadi pilihan. Andai saja sepanjang DAS Napun
Nakat dengan sejumlah anak sungai di pengunungan menghijau karena bambu, betapa
sumber-sumber mata air berkecukupan. Betapa debit air melimpah, betapa para
petani di sawah tak lagi mengelus dasa karena kekurangan air.
Belajar dari Tetangga
Di zaman teknologi seperti
sekarang, kita mungkin belum kesampaian membicarakan tentang transformasi digital
dalam rangka mendukung inovasi kehutanan 4.0 untuk ekonomi hijau dan
penyelamatan bumi. Tetapi pilihan menyelematkan bumi dengan cara sederhana
mesti dijangkau. Jangan lupa bambu menjadi
salah satu perhatian Presiden Joko Widodo untuk dikembangkan menjadi green
economy.
Di Kabupaten Ngada, misalnya
tanaman bambu tanaman bambu dibudidayakan. Di atas areal 800 hektare
ditanami bambu. Pada tahun 2020, pemerintah menyediakan bibit sebanyak 100.000
bibit dan akan mengalami peningkatan pada tahun 2021. Mendengar orang Ngada membudidyakan bambu,
segenlintir orang mungkin tertawa sinis. Mereka akan tertawa karena iklim dan
kondisi daerah tersebut dikategorikan subur. Pertanyaan yang muncul mengapa
mesti membudidayakan bambu. Tentu program ini digalakan tidak sebatas pemahaman
kebanyakan orang. Bambu selain memiliki nilai ekonomi juga mempunyai
nilai lingkungan dan konservasi karena dapat menyerap karbondioksida yang
disimpannya di akar, batang dan daun bambu sehingga lingkungan setempat akan
terasa dingin dan sejuk.( https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3464/dukung-usaha-budidaya-bambu, dibaca pada tanggal 30/03/2022, pkl.13.35).
Jika di kabupaten tetangga telah berpikir selangkah
lebih maju hingga meraup rupiah, kita mesti jujur untuk memikirkan lebih kepada
ketersediaan air sebagai sumber kehidupan vital. Pada DAS Napun Nakat sepajang
kurang lebih 10 KM dengan puluhan anak
sungai hingga kaki Gunung Wuko dihijaukan dengan bambu. Bambu tanman warisan
leluhur. Jika saja selama ini pembukaan ladang menyebabkan tanaman bambu punah,
sudah saatnya mesti berpikir untuk membudiayakannya.
Sungguh
miris jika sungai yang dulu berkelimpahan air, kini harus ditangisi karena debitnya
semakin berkurang. Ini bukan salah pengelolaannya, tetapi kurangnya pemahaman
soal kemanfaatnya yang menyentuh kebutuhan vital manusia. Gubernur Victor B. Laiskodat ketika meresmikan
Kampus Desa Bambu Agroforestry di daerah Turetogo Desa Ratogesa Kecamatan
Golewa Kabupaten Ngada, pada saat kunjungan kerja ke Flores Mei 2021 lalu
misalnya berpendapat bahwa bambu adalah kehidupan, bambu aalah masa depan. Mari
kita mengurainya untuk sebuah kehidupan yang lebih bermartabat.
Penulis: Y. Joni
Liwu, S.Pd,Guru Bahasa Indonesia di SMPN 13 Kota Kupang
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!