PERLUKAH KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS BAGI SISWA?
PERLUKAH KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS BAGI
SISWA?
Waktu
satu jam ujian tulis belum usai. Baru saja 20 menit.Untuk menyelesaikan soal
sebanyak empat puluh nomor setidkanya
membutuhkan wakti sembilan puluh menit. Mataku sekejap melihat ke luar. Di halaman depan
ruang ujian, tiga orang siswa negumpulkan sampah , selanjutnya membakar
sampah-sampah tersebut.
“Bukankah
mereka juga peserta ujian?” aku membatin.
Tak
kuhiraukan karena di hadapanku puluhan siswa sedang mengikuti ujian. Aku harus
mengawasi mereka selama satu jam. Aksi anak-anak membakar sampah menyulut
perhatian mereka. Namun, tak satu pun terpancing. Mereka tetap mengikuti ujian
dengan tertib. Kudengar suara seorang guru,“Bagaimana mungkin mengerjakan
soal-soal try out hanya lima belas menit.”
Saya
baru menyadari jika beberapa siswa
tersebut diberi sanksi. Hampir teman-teman dan guru-guru di sekolah tersebut
pun tahu jika mereka sering buat ulah. Acuh tak acuh dalam pembelajaran. Sering
bolos jika mengikuti pembelajaran, belum lagi enggan mengerjakan tugas-tugas.
Saya
lalu teringat kesan seorang penulis kenamaan di kota ini dalam sebuah
kesempatan. Ia berpendapat bahwa aksi-aksi tersebut adalah sebuah fenomena yang
muncul ke permukaan. Sesungguhnya ada hal lain mengerogoti kehidupannya. Hal
itulah yang mesti dicermati sehingga ia kemudian tidak mengulangi tabiat tak
terpuji. Mengerjakan soal-soal dalam waktu sekejap mengindikasih mental instan.
Mungkinkah Belajar Dari Rumah ( BDR ) selama hampir setahun pandemi menjadi
pemicu? Asumsi ini dapat dibenarkan oleh beberapa riset.
Patrick,
et al. (2020), dalam survei nasional yang dilakukan di Amerika Serikat
menemukan, sebanyak 27% orang tua melaporkan kesehatan mental mereka memburuk
selama pandemi dan 14% lainnya melaporkan perilaku anak-anak mereka juga
memburuk. Jiao, et al. (2020) melalui kajian permulaan di China mengungkapkan
bahwa anak-anak yang tinggal di daerah epidemiologi tinggi cenderung memiliki
tingkat ketakutan, kecemasan, dan persoalan emosi yang tinggi. Selama pandemi,
anak-anak juga cenderung mengalami persoalan psikologis karena kurangnya
perjumpaan fisik, merasa kurang diperhatikan, dan emosional (Jiao, et al.,
2020).
Di
Indonesia misalnya survei tentang kondisi psikologis BDR dilakukan oleh
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Hasil survei
tersebut mencatat bahwa menemukan bahwa sebesar 58% anak tidak menyukai
kegiatan BDR (Mashabi, 2020). Survei lainnya dilkaukan oleh Pusat Penelitian
Kebijakan bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia melakukan survei
terhadap 15.840 siswa.Survei dilakukan
pada 24 kabupaten kota di 12 propinsi. Yakni Sumtera Utara, Jawa barat, Jawa
Timur, NTT, NTB,Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, Maluku.
Beberapa
simpulan dari survei yang melinatkan siswa SD, SMP dan SMA/SMK tersebut dalam
hal kesulitan mentak emosional, mayoritas responden (64,39%) berada pada
kategori normal, 19,00% berada pada kategori perbatasan, dan 16,61% pada
kategori abnormal. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dijelaskan bahwa selama
pandemi gangguan mental emosional penduduk usia sekolah cenderung meningkat. ( https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/assets_front/images/produk/1gtk/kebijakan/preview/Risalah,
dibaca
pada
30/03/2022, pukul 21.36).
Menjadi
menari yakni tugas guru selama BDR beralih menjadi tugas orang tua, sebuah
disrupsi yang mesti diterima.Tentu saja peran tua dalam pembimbingan sangat
mempengaruhi perkembangan mental psikologis siswa.Berdasarkan survei tersebut,
bahwa pada responden yang tidak didampingi, proporsi responden yang masuk dalam
kategori abnormal lebih tinggi dibandingkan responden yang selama BDR
didampingi. Kesulitan mental emosional termanifestasi dalam munculnya
perasaan-perasaan yang tidak nyaman yang dapat menghambat fungsi kehidupan,
seperti rasa sedih, takut, marah, kecewa, dan tidak bersemangat.
Pada
level yang lebih berat, kesulitan mental dan emosional dapat berkembang menjadi
gangguan yang lebih serius, seperti kecemasan, depresi, bahkan munculnya
keinginan untuk melakukan bunuh diri. Sedangkan gangguan perilaku dapat
terwujud melalui munculnya perilaku-perilaku negatif pada anak, seperti
membantah/membangkang, merusak barang, membolos, dan mengganggu orang lain.
Pada level yang lebih parah, gangguan perilaku dapat terwujud pada
perilaku-perilaku menyerang baik ditujukan kepada orang lain (aggressive
behaviour) maupun dirinya sendiri (self-harm).
Sungguh
pandemi covid 19 tidak saja berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga
kesehatan mental anak-anak terlebih siswa-siswi yang hari-hari ini akan
mengikuti pembelajaran tatap muka secara penuh.
Bagi
guru tentu perlu memberi perhatian terhadap kesejahteraan psikologis siswa dan
turut melatih keterampilan sosial-emosional siswa melalui pembelajaran.
Pembelajar tdiak fokus pada pencapaian target kurikulum. Guru perlu menjami
kondisi psikologis siswa. melatih keterampilan siswa dalam mengelola emosi dan
perilaku, memiliki empati dan menunjukkan perhatian kepada orang lain,
menyelesaikan masalah secara efektif, membuat keputusan yang bertanggung jawab,
dan menjaga hubungan yang sehat dengan orang lain. Perhatian guru terhadap
kondisi psikologis siswa dapat memitigasi persoalan psikologis yang berpotensi
muncul yang dapat menghambat perkembangan siswa.
Hal
lain adalah Sekolah perlu membuat program yang berkelanjutan untuk
mempromosikan kesehatan mental dan emosional siswa dengan mengoptimalkan
kepemimpinan guru bimbingan konseling dan melibatkan peran semua warga
sekolah.Lembaga-lembaga penentu kebijakan seperti dinas pendidikan pun perlu
mengoptimalkan peran aktif orang tua ketika mendampingi anaknya di rumah.
Langkah-langkah taktis mesti dipikirkan agar dampak pandemi covid tidak menjadi
bumerang bagi tumbuh kembang siswa-siswa atau peserta didik.Dengan demikian,
bangsa ini menjadi lebih bertanggung jawab menyiapkan generasi emas yang kebih
bermartabat.
Lonceng
tanda ujian usai berbunyi.Seluruh siswa pun meninggalkan ruang ujian. Tanggung
jawab capaian kurikulum ditunaikan guru. Namun demikian, tanggung jawab
kesejahteraan psikologis peserta didik masih menjadi agenda yang diurai agar
tidak menjadi benang kusut.Hal itu selaras dengan tujuan pendidikan nasional mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu. Sehat jasmani dan sehat rohani
tentunya. ( Salam Literasi )
Komentar
Posting Komentar
Silakan komentar secara bijak dan kosntruktif!