MEMBUDAYAKAN LITERASI PASCA PANDEMI COVID -19

 


 

MEMBUDAYAKAN LITERASI PASCA PANDEMI COVID -19

( Oleh: Yohanes Joni Liwu, S.Pd )

 

            Jelang peringatan HUT RI ke- 77, 17 Agustus 2022, sekolahku menggelar beberapa jenis lomba. Salah satu di antaranya adalah merias pohon literasi di kelas masing-masing. Seorang peserta didik di tengah kesibukan merias pohon literasi dan Majalah  Dinding  ( Mading ) kelasbertanya,” Bapak, masih adakah literasi itu?” Pertanyaan yang menohok, karena guru menurutku menjadi garda terdepan menggerakan literasi di sekolah, sedangkan niat menggerakan literasi tersebut perlahan pudar ketika bangsa didera Pandemi Covid-19.

Saya coba memahami pertanyaannya, karena hampir dua tahun masa pandemi covid – 19, gema literasi tidak terngiang. Mereka ( baca: peserta didik ) hampir sibuk dalam kesehariannya dengan mengerjakan tugas secara daring. Tugas literasi semisal membuat resume dari bacaan sangat mungkin diabaikan. Belum lagi sejumlah alasan kesibukan di rumah, menyebabkan mereka menelantarkan tugas literasi tersebut. Kegiatan lomba menyongsong HUT RI ke-77 sedikit memberi ruang agar peserta didik diajak melitani semangat berliterasi ketika pembekaharan tatap muka penuh atau 100% dilakukan.

            Sekolahku sebelum Pandemi Covid-19  misalnya, melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah ( GLS ) dengan membaca lima belas menit sebelum pembelajaran dimulai. Selain itu, melakukan pembiasaan membaca satu jam pada setiap hari Kamis. Semua peserta didik melakukan kegiatan membaca, membuat resume, atau berbagi cerita di kelasnya. Beberapa kegiatan berliterasi lainnya dilakukan pada satu jam membaca tersebut bersama wali kelas. Tim Literasi Sekolah ( TLS ) mengkoordinir kegiatan membaca satu jam tersebut. Gerakan masif yang dilakukan disekolah tersebut kemudian  mulai memudar kala Pandemi Covid-19.  Gebuar HUR RI hari-hari ini dengan menata pohon literasi di kelasnya masing-masing, sepertinya geliat berliterasi mengiang kembali dalam diri peserta didik.

 

Literasi dan Sebuah Pembiasaan

Kegiatan berliterasi di sekolah mesti dibilang gerakan masif, tetapi tidak bisa disejajarkan dengan mata pelajaran pada umumnya. Mata pelajaran memilki “kita sucinya” atau kurikulum sendiri,  diatur dalam kurikulum untuk seluruh akivitasnya.Hal tersebut tidak untuk kegiatan literasi. Memang petunjuk praktis tersaji pada buku-buku bertema literasi, namun tidak diatur alokasi waktu dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Hal yang menggerakan para guru pegiat literasi yakni Gerakan Literasi Sekolah ( GLS ) memberdayakan atau menguatkan literasi dan numerasi. Hal yang nantinya berkontribusi dalam evaluasi di tingkat satuan pendidikan melalui Asesmen Nasional ( AN ). Jika demikian, maka dapat dikatakan bahwa GLS mesti juga program di setiap sekolah. Sekolah tidak boleh mengabaiakannya walau GLS bukan merupakan sebuah mata pelajaran. Pada titik ini, GLS mesti mendapat ruang dan waktu, karena sangat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik.

Sekolah ketika melaksanakan kurikulum Merdeka Belajar, sangat konsen menerapakan kurikulum baru tersebut. Jika dicermti, penentu kebijakan belum memberikan  alokasi waktu yang cukup bagi TLS untuk menyulut hasrat berliterasi itu di tiap satuan pendidikan. Para guru penggerak atau pemerhati literasi masih berjalan sendiri-sendiri. Ibarat berjalan di lorong yang sepi, gaung literasi berlalu bersama angin sepoi. Jika demikian, mestikah literasi hanya cukup dipahami para guru, atau hanya menjadi tanggung jawab TLS?

Hemat saya, GLS mesti menjadi sebuah pembiasaan. Beberapa hal yang patut dilakukan dikelas dalam upaya pembiasaan tersebut misalnya sebagai berikut. Pertama, pengemangan lingkungan kaya teks di sekolah. Agar dapat mengembangan budaya literasi di sekolah maka lingkungan di sekolah diupayakan kaya teks. Lingkungan kaya teks dimaknai sebagai lingkungan di mana anak-anak berinteraksi dengan berbagai bentuk bahan cetak, termasuk tanda-tanda, sudut belajar yang berlabel, cerita dinding, displai kata, mural berlabel, papan buletin, grafik dan diagram, puisi, serta berbagai bahan cetak lain.

Di kelas seuah kela seperti pemajangan berbagai jenis teks. Siswa membuat teks seperti dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Jika sangat memungkinkan maka teks-teks tersebut kemudian dipajang di Majalah Dinding ( Mading ) kelas. Beberapa bagan fungsinoal di kelas sangat membantu peserta didik dalam berliterasi. Tanda atau label yang berfungsi untuk mengkomunikasikan informasi adalah sumber bahan kaya teks yang penting untuk bahan bacaan. Bagan fungsional sebagai sarana komunikasi kegiatan sehari-hari di kelas meliputi jadwal harian, daftar pikte kelas, pengaturan kelas, bagan kehadiran peserta didik.Sesuatu yang biasa dan wajar namun bermakna dalam membudayakan literasi.

Guru dan peserta didik dapat membuat teks-teks kemudian memajangnya bersama peserta didik. Bahan seperti ini penting untuk menjadi sebuah contoh atau model pembelajaran. Bahan teks hasil kerja bersama dapat juga ditinjau secara berkala untuk dikembangkan menjadi teks baru atau rujukan karya siswa mandiri. Pada mata pelajaran bahasa Indonesia misalnya, tanggapan guru atas cerita seorang peserta didik, dapat pula dijadikan sebagai teks. Pengaturan grafis yang digunakan oleh guru dan siswa untuk menyusun struktur cerita, karya yang dibuat selama kegiatan menulis interaktif, kegiatan menceritakan kembali oleh siswa dan dicatat oleh guru, tanggapan tertulis siswa atas pertanyaan guru tentang sebuah cerita,  menjadi karya-karya yang dapat dipajang. Prinsipnya, tulisan siswa haruslah diterbitkan dan ditampilkan, tidak hanya dinilai dan disimpan.

Hal sederhana yang mesti menjadi pembiasaan di kelas adalah sudut baca kelas. Fungsi sudut baca adalah untuk mendukung agar siswa menjadi literat. Mereka harus diberikan banyak bahan teks dan kesempatan untuk mengeksplorasi dan bereksperimen dengan buku. Bila sekolah ingin agar siswa mendapat akses langsung pada teks sastra dan non sastra, sudut baca harus dikelola dengan baik.

 

 Sudut Baca Atasi Kekurangan Buku

 

Sudut baca ternyata memberi andil. Berbagai studi telah membuktikan bahwa sudut baca yang dirancang dengan baik dapat secara signifikan meningkatkan jumlah siswa yang terlibat dalam kegiatan bernapaskan sastra selama waktu rehat. Semakin banyak anak yang memiliki akses ke buku, semakin banyak mereka membaca dan akan menjadi pembaca yang lebih baik. Sebuah hal sederhana yang telah dilakukan di sekolahku adalah menyiapkan sudut baca. Tertata lemari berwujud rak buku ukuran sedang pada hampir semua kelas. Rak-rak buku tersebut untuk menyimpan buku-buku sastra. Peserta didik dapat menggunakan buku-buku tersebut ketika mengikuti kegiatan membaca lime abelas menit ataupun pada Kamis Membaca ( membaca atu jam).

Text Box:
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Dengan koordinasi tiap wali kelas, setiap peserta didik dapat membawa buku nonteks atau buku-buku fiksi. Buku-buku tersebutlah yang akan disimpan pada rak-rak buku di tiap sudut kelas. Jika sebuah kelas memiliki jumlah peserta didik sebanyak tiga puluh orang, tentu buku sebanyak itu pula yang ada di rak buku. Buku-buku tersebut diupayakan agar dibaca oleh seluruh peserta didik dalam kelas tersebut. Tentu dengan cara saling meminjamkan buku-buku tersebut setelah buku tersebut habis dibaca. Betapa dengan menyimpan buku-buku tersebut di sudut baca, seluruh siswa sejumlah kelas tersebut dapat membaca sekian banyak buku. Sekolah tidak perlu berjeri lelah mencari atau membeli buku, atau bahkan mendatangkan perpustakaan keliling, hak mana tentu membutuhkan kesigapan waktu, sedangkan rutinitas di sekolah  terjadwal.

Hal kedua, yang juga mesti dipahami dalam rangka mengembangkan budaya literasi di sekolah yakni pengembangan lingkungan sosial emosional. Lingkungan sosial emosional adalah lingkungan sosial afektif dalam definisi Beers, (Beers dan Smith 2010). Lingkungan sosial adalah lingkungan yang dibentuk oleh jenis komunikasi dan interaksi di sekolah. Lingkungan sosial emosional atau lingkungan sosial afektif saling berkaitan dan berperan penting untuk mendukung pengembangan budaya literasi sekolah. Lingkungan sosial emosional diwarnai dengan suasana di mana hubungan antara kepala sekolah dan guru lebih bersifat kolegial. Kesetaraan antarguru dan interaksi antarsiswa tampak dalam keseharian aktivitas di sekolah.

Relasi yang harmonis antara guru dan peserta didik  dalam pembelajaran tatap muka di kelas mesti juga menjadi bagian yang penting dalam menumbuhkan budaya literasi di sekolah. Hal ini, tentu juga menuntun peran aktif dari seorang guru dalam menumbuhkan semangat literasi. Di sekolah yang menjadi tempat belajar, seorang peserta didik pun mendamba relasi yang harmonis. Dengan komunikasi yang efektif antarguru dan peserta didik, niscaya budaya literasi dapat terwujud di sebuah lembaga pendidikan.

Budaya literasi dapat terwujud jika tebangun pula relasi dengan orang tua. Peran orang tua menjadi penting jika peserta didik telah berada di rumahnya masing-masing. Perhatian dan ketersediaan waktu di rumah mesti menjadi perhatian orang tua, agar kegiatan berliterasi di sekolah juga menjadi kegiatan peserta didik di rumah. Dua kutub yang literasi yang bukan tidak mungkin dapat menggerakkan dan mewujudkan budaya literasi.

Ketika geliat literasi di sekolah dan di rumah diberdayakan, jangan lupa ada pula yang mesti dilakukan adalah strategi penguatan literasi di lingkungan akademik. Hal tersebut tentu dimaksudkan agar pembelajaran bermakna dan menyenangkan sehingga siswa dapat meningkat kecakapan literasinya dengan optimal. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah penguatan kapasitas para guru. Kepala sekolah dapat menunjuk atau menugaskan seorang guru sebagai spesialis literasi, di samping mendorong iklim kerja yang kondusif dan kolaboratif, serta memastikan terselenggaranya kegiatan penguatan literasi.

 

Literasi Bukan Saja Baca Tulis

Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana siswa dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan siswa, baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya untuk menumbuhkan budi pekerti mulia. Literasi pada awalnya dimaknai 'keberaksaraan' dan selanjutnya dimaknai 'melek' atau 'keterpahaman'. Pada langkah awal, “melek baca dan tulis" ditekankan karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengembangan melek dalam berbagai hal. Namun demikian, literasi tidak berupa baca dan tulis, namun literasi mencakup hampir di semua bidang kehidupan. Karenanya, terdapat pula literasi numerasi, literasi budaya dan kewarganegaraan, literasi sains, literasi digital dan literasi finansial.

 

Dalam membudayakannya, liiterasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang terus berkembang atau terus berproses, yang pada intinya adalah pemahaman terhadap teks dan konteksnya. Hal ini sangat berdasar  sebab manusia berurusan dengan teks sejak dilahirkan, masa kehidupan, hingga kematian.  Keterpahaman terhadap beragam teks akan membantu keterpahaman kehidupan dan berbagai aspeknya karena teks itu representasi dari kehidupan individu dan masyarakat dalam budaya masing-masing.

Hampir menjadi cerita lama bahwa saat ini kegiatan literasi di sekolah ditengarai belum optimal mengembangkan kemampuan literasi warga sekolah khususnya guru dan siswa. Beberapa faktor yang menjadi penyebab yakni  minimnya pemahaman warga sekolah terhadap pentingnya kemampuan literasi dalam kehidupan mereka. Hal lain yakni minimnya buku-buku nonteks di sekolah. Kegiatan membaca di sekolah masih terbatas pada pembacaan buku teks pelajaran dan belum melibatkan jenis bacaan lain. Upaya mengatasinya sebagaimana saya sebutkan di atas, yakni peran wali kelas memanfaatkan sudut baca. Peserta didik dan guru dapat mengadakannya denga mengumpulkan buku bacaan ( fiksi ) kesukaan pesetrta didik, kemudian menatanya pada rak-raka atau lemari buku yang ditempatkan di sudut kelas sebagai sudut baca.

 

Guru itu Model

 

Implementasi penumbuhan budaya literasi di sekolah memerlukan langkah-langkah sebagai berikut: persiapan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta tindak lanjut. Persiapan

merupakan kegiatan menyiapkan bahan, personal, dan strategi pelaksanaan. Pelaksanaan merupakan operasionalisasi hal-hal yang telah dipersiapkan. Pemantauan dan evaluasi merupakan kegiatan untuk mengetahui efektivitas kegiatan literasi yang telah dilaksanakan. Sebagaimana tindak lanjut yang dilakukan guru setelah kegiatan pembelajaran tatap muka di kelas, maka penumbuhan budaya literasi melalui langkah-langkah sebagaimana tersebut di atas, perlu dilakukan tindak lanjut. Tindak lanjut merujuk pada hal-hal yang perlu dilakukan selanjutnya  berrupa penyusunan program lanjutan.

            Jika dilaksanakan sebagaimana alur berliterasi bukan tidak mungki  upaya membudayakan literasi akan terwujud. Namun demikian, tanpa peran aktif berbagai pihak gerakan bermartabat ini hanya tinggal nama. Kerja sama serta peran aktif iu menjadi kunci. Ia bahkan menjadi pendongkrak kualitas berliterasi. Aktif berliterasi tentu menyulut kesungguhan seseorang untuk berperan menbudayakan literasi. Di sebuah lembaga pendidikan, guru mesti menjadi contoh, model dalm berliterasi. Jika hari-hari ini, belum semua guru mengambil peran membudayakan literasi itu mungkin karena kondisi bangsa didera pandemi covid-19. Namun kondisi bangsa telah pulih sebagaimana sedia kala.Kini saatnya bangkit, sebagai mana tema HUT RI ke-77, Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat.

Penulis adalah guru bahasa Indonesia di SMPN 13 Kota Kupang

Sumber :                                                                                                  

Panduan Penguatan Literasi & Numerasi di Sekolah
Ditjen PAUD, Dikdas, & Dikmen Kemendikbud 2021

 

 

Komentar