VIRUS DEMAM BABI

 

MENYOAL  VIRUS DEMAM BABI

 

 

Merebaknya berita kematian ternak babi di  kampung halaman Flores akbiat  virus demam babi Afrika (african swine fever)  tak segalau hati peternak babi kampungan.  Saya lebih memilih kampungan karena hampir seluruh peternak babi di kampung-kampung masih beternak secara kecil-kecilan atau tradisional. Mereka mengandangkannya pun secara sederhana. Demikian pun pakan ternaknya, pangan-pangan lokal seperti ubi, jagung, dedak padi, pepaya,  masih menjadi pakan ternak. Jumlah ternak pun tidak seberapa. Kalaupun diternak secara profesional dapat dihitung dengan jari. Ini mungkin gambaran tentang peternak-peternak babi di kampung halaman, yang hari-hari ini menderita kerugian akibat kematian ternak babinya.

Peternakan babi di kampungku Flores Timur sampai saat ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang ekonomi masyarakat, khususnya di pedesaan. Sekitar 80% rumah tangga di pedesaan memelihara ternak babi yang jumlahnya antara 1- 3 ekor. Walaupun bersifat sambilan, namun babi terbukti menjadi salah satu sumber pendapatan yang sangat diandalkan bagi keluarga. Pemeliharaan ternak babi sangat membantu menstabilkan ekonomi masyarakat, terutama saat-saat keperluan dana mendadak dalam jumlah yang cukup banyak. Ternak babi menjadi cadangan dana pengaman dalam sistem keuangan keluarga.

. Dalam urusan-urusan yang bertalian dengan adat dan kebudayaan, ternak babi menjadi satu-satunya ternak yang dibutuhkan. Ketika melaksanakan  hajatan ( entah suka pun duka ) sebuah komunitas kecil yang disebut suku misalnya perlu menyiapkan babi dalam jumlah tertentu selain beras juga bahan makanan lainnya. Bukan lagi menjadi rahassia umum, yakni bahwa dengan babi maka kebutuhan daging dalam acara hajatan tercukupi. Lebih dari itu, babi pun menjadi  hewan kurban dalam seremonial tertentu.Hal ini tentu menurut adat dan kebiasaan yang mentradisi.

Dalam obrolan dengan seorang ketua BPD di sebuah desa di Kecamatan Wulanggitang diperoleh data mencengangkan bila membandingkan jumlah kematian ternak babi dengan harga setiap ekornya. Dijelaskan, jumlah Kepala keluarga ( KK ) di desa tersebut sekitar tiga ratusan. Andaikan saja jumlah KK sebanyak tiga ratus  dengan jumlah ternak babi dua ekor saja setiap keluarga, maka hampir dipastikan sekitar enam ratus ekor babi yang mati. Harga satu ekor babi dengan tiga juta rupiah, maka secara keseluruhan kerugian sebanyak Rp 1.800.000.000. Jumlah itu akan lebih jika satu keluarga memiliki lebih dari dua ekor babi, atau harga setiap ekor lebih dari tiga juta rupiah.

            Jumlah kerugian ( sebagaimana contoh di atas )  belum terhitung jenis kematian ternak lainnya. Jika dicermati, usaha ternak babi di pedesaan bersifat sambilan. Namun jika jumlah kerugian mencapai angka miliar, maka langkah antisipatif, seperti pencegahan dan pengobatan mesti dipikirkan tidak saja oleh peternak tetapi juga pemerintah. Bukankan ternak babi dalam kehidupan masyarakat di pedesaan juga mempunyai nilai tersendiri? Selayaknya, bencana ini telah menjadi perhatian instansi terkait dengan tidak hanya sekali dua kali ke kampung-kampung  mendata ternak penduduk dan memberikan vaksin ‘apa adanya’ lalu selesai. Sungguh menyayat, jika  laporan dari instnasi terkait soal jumlah ternak bergitu detail, tetapi kerugian dalam jumlah fantastis seperti di atas tidak muncul ke permukaan.

 

Langkah taktis

 

Jika disandingkan dengan pertanian yang sudah berubah wujud dari tradisional ke modern, maka peternakan di kampung-kampung masih belum kesampaian.Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor- faktor karakteristik sosial ekonomi peternak seperti jumlah ternak, umur, tingkat pendidikan, lamanya beternak, jumlah tanggungan keluarga, dan jumlah tenaga kerja memiliki peran yang sangat penting di dalam suatu usaha pemeliharaan ternak. Karakteristik peternak tersebut nantinya akan membentuk pola pikir dari peternak dalam menangani proses budidaya ternaknya yang dapat mencerminkan keberhasilan usaha itu. Hal-hal ini belum tersentuh sehingga peternakan babi dalam skala kecil masih mentradisi. Sesuatu yang sangat miris sedangkan setiap tahun fakultas peternakan pada beberapa universitas di NTT menghasillan sarjana peternakan. Tenaga-tenaga profesional tersebut sangatlah tepat sebagai garda terdepat memberdayakan peternak-peternak di kampung. Namun demikian, generasi bangsa yang bertitel sarjana peternakan tersebut belum dimaksimalkan.

 

Peternak-peternak di kampung yang rata-rata berpendidikan Sekolah Dasar, tentu sangat menharapkan sentuhan-sentuhan sarjana peternakan. Hingga di aras ini,  sangat dibutuhkan langkah taktis dengan berkreasi. Pemerintah desa tanpa menungguh arahan dari atasan, patut memberdayakan para lulusan  sarjana peternakan atau setidak dokter hewan yang juga dihasilkan salah satu perguruan tinggi negeri di NTT ini.

 

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerjasama dengan instansi terkait serta Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) terus memperkuat kolaborasi dalam menanggapi terjadinya penyakit demam babi Afrika (ASF) di Indonesia. Beberapa langkah koordinasi dengan bupati dan wali kota semisal pembatasan lalu lintas babi dan produk babi, penutupan wilayah serta mengupayakan dana tanggap darurat pada Pemerintah Kabupaten/Kota.Namun ada hal yang lebih penting adalah pentingnya pemahaman tentang ASF dan penerapan biosekuriti yang ketat dan berkelanjutan oleh peternak babi. Ini dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui bimbingan teknis terstruktur. Dalam konteks ini, maka peternak babi di kammpung-kampung tidak dibiarkan mewarisi metode beternak secara tradisional. Dalam konteks ini, para peternak di kampung-kampung mendapat pencerahan sehingga mereka pun tidak berdaya melihat kematian ternak babi mereka. Setidaknya mereka juga mulai meninggalkan pola beternak secara tradisional ke peternakan yang lebih profesional walau dalam skla kecil.

 

Kupang, 03 Februari 2021

 

Komentar