TALAK, EPISODE SINETRON MENGGELITIK

 

 

TALAK, EPISODE SINETRON MENGGELITIK

( Catatan miris atas tayangan sinteron keluarga )



Tayangan sinetron sebuah televisi swasta mengelitik nurani, walau patut diacungi jempol tayangan sinteron hampir saban hari tersebut menaikan rating. Tak dipungkiri kaum ibu hampir pasti  tak melewatkan waktunya untuk  menikmati tayangan ini. Dapat dijumpai tayangan sinetron tersebut sejak pagi hingga malam terutama di jam-jam tertentu ( baca: prime time ). Jika demikian yang terjadi adalah semakin besar ratingnya, maka episode sinteron tersebut bakal diperpanjang. Seorang anak kecil yang sering menonton sintron bakal  mengetahui jika sinetron tersebut pernah ditayangkan. Uniknya, sejauh itu pula sinteron tersebut tetap dilahap ( baca: dotonton ) hingga ending.

 

Sinetron sebuah televisi swasta hampir sembilan puluh persen menayangkan sintron keluarga. Menjadi menarik dari sinterin tersebut yakni bahwa alur bisa ditebak, bahkan endingnya  demikian. Namun demkian, sinteron tersebut bahkan terasa renyah bak cemilan di musim hujan. Sesuatu yang mengelitik tetapi juga sangat menyentuh dari sebuah sintron keluarga tersebut yanki kata talak. Hampir kata itu akan muncul dair mulut seorang suami. Alam pikiran turut menerawang dengan beberapa asuksi berikut. Pertama, talak menjadi kata kunci mematikan. Bagi seorang suami, talak adalah kata kunci yang merupakan pedang terhunus. Dengan mudahnya, kapan saja seorang suami meredam persoalan atau konflik dalam keluarga dengan pedang terhunus tersebut. Seorang isteri bagai tak berdaya menhadapi kunci yang ada di tangan suaminya tersebut.

 

Kedua, talak beri peluang. Alur-alur cerita yang mengisahkan  penyelesaian masalah yang berujung talak tersebut telah menanamkan pemahaman kepada penonton bahwa talak menjadi jalan terbaik. Pemunculan kesempatan  tentulah sebuah peluang egois para suami untuk mengibarkan panji kemenangan tanpa sedikitpun mengalami kepedihan hati seorang isteri. Talak pada aras ini merupakan pembodohan,  telah menjadi pembelajaran yang meninabobokan. Ia tidak memberi pembelajaran dalam menyelesaikan persoalan keluarga. Benar bahwa ending cerita adanya penyelesaian masalah semisal permohonan maaf dari tokoh antagonis, tetapi bahwa alur cerita yang telah tertanam dalam alam bawa sadar penonton ( termasuk anak bawah umur )bahwa talak itu peluang berharga.

 

Ketiga, talak mengacak-acak kebahagiaan. Kalau tidak disebut meluluhlantakan hati dan persaan seorang isteri, mungkin lebih tepat disebut menghancurleburkan bahtera rumah tangga.Itu hanya karena sebuah kata, talak. Bahtera rumah tangga bak terombang-ambing dihempas gemlombang laut pantai, mungkin pula hanyut terbawa arus hanya karena  persolan-persolan seujung kuku. Hal-hal kecil itu pun kemudian menyulut perseteruan hingga talak.

 

Keempat, andaikan tidak ada talak. Peneguhan beruwujud ucapan selamat saat di pelaminan yang beribu-ribu, serasa sirna karena talak. Kebahagiaan serasa semu jika kata ini telah terucap oleh seorang suami kepada isterinya. Hati berbunga kala menyenandungkan ‘sehidup semati’ dalam akad nikah lenyap diterpa angin musim barat yang bernama talak. Targis memang, karena  anak yang merupakan buah cinta terpapar virus kebencian antarorang tua di ujung yang berujung talak. Pertanyaan miris, sejauh mana pembelajaran bermakna bagi sebuah keluarga jika ujung-ujungnya adalah talak?  Menariknya, latar sinteron-sinetron  keluarga itu selalu mengambil latar keluarga-keluarga berada, bermobil, berumah mewah, atau tidak merepresentasikan warga bangsa ini kebanyakan yang kurang berada. Dengan demikian, penonton memilki simpulannya masing-masing, semisal harta tidak menjamin kebahagiaan keluarga, atau kekayaan bukanlah jaminan kebahagiaan.

 

 

Kelima, talak versun kaum isteri. Jika disandingkan seperti ini, penggemar sinetron keluarga akan bersepakan bahwa para isterilah yang menjadi pihak yang dikorbankan.Lagi –lagi anak dikorbankan harus memilih bersama ibu atau ayah, walau sebenarnya hak asuh itu menjadi tanggung jawab orang tua sebagai diatur dalam pasal 41 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, atau sesuai denga Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 105.

 

Remah  Sintetron Berjiwa Talak

 

Di dalam UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, di kenal 2 (dua) macam perceraian, yaitu cerai talaq, dan cerai gugat. Cerai talaq adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami yang bermaksud menceraikan isterinya mereka harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama, sedangkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Apapun jenis perceraian tentulah sangat berdampak. Perceraian membawa pengaruh yang besar kepada suami-istri, anak-anak, harta kekayaan, maupun masyarakat dimana mereka hidup. Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-istri, baik yang sudah mempunyai anak maupun yang belum bisa dirai sebagai berikut.

 

Pertama,  Dampak terhadap suami/ istri. Akibat perceraian adalah suami-isteri hidup sendiri-sendiri, suami/ isteri dapat bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian membawa konsekwensi yuridis yang berhubungan dengan status suami, isteri dan anak serta terhadap harta kekayaannya. Bagi bekas suami mendapat gelar sebagai duda dan bagi bekas isteri mendapat gelar sebagai janda.

 

Kedua, dampak bagi anak. Keluarga bagi anak-anaknya merupakan tempat perlindungan yang aman, karena ada ibu dan bapak, mendapat kasih sayang, perhatian, pengharapan, dan Iain-lain. anak-anak akan kehilangan tempat kehidupan yang aman, yang dapat berakibat menghambat pertumbuhan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat lain,  adanya kegoncangan jiwa yang besar, yang dirasakan oleh anak-anak, walaupun segala kebutuhan hiduponya dijamin. Namun demikian, kasih sayang dari ibu dan ayahnya tidak tergantikan. Kesehatan  jiwa anak terjamin jika ia mendapatkan belaian kasih sayang sejak lahir hingga dewasa. Kasih sayang orang tua menjadi poin, yang semesetinya digarisbawahi sehingga semsetinya penceraian dihindari.

 

Hal lain, bahwa mempersiapkan diri sebelum ke jenjang perkawinan itu pun menjadi hal terpenting agar bahtera keluarga nantinya tak mudah goyah. Mepersiapkan diri secara jasmani dan rohani, yang tidak diukur dengan sebeapa lama masa pacaran, tetapi lebih dari itu memahami sejauh mana eksistensi sebuah keluarga jika dibangun. Termasuk misalnya bagaimana menghadapi sebuah persoalan, atau menyelaraskan perbendaan pendapat sehingga tidak menyulut percekcokan. Penguatan-penguatan seperti kursus perkawinan dalan Gereja Katolik, sebenarnya memberikan pemahaman tentang kekokohan ikatan perkawinan. Dengan demikian, perkawinan menjadi sesuatu yang sakral sehingga bisa mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri yakni untuk kebahagiaan dan ksejahteraan suami isteri ( bonum coniugum ) serta keterbukaan pada kelahiran ( bonum prolis ) dan pendidikan anak.

Pertanyaan retoris yang hampir terabaikan pencinta sinteron keluarga adalah dosakah bila seorang suami menalak siterinya atau seorang isteri menggugat cerai suaminya. Penonton akan selalu tersulut secara emosional akan perilaku tokoh antogonis dan menunggu karma atau pembalasan yang akan dialaminya.Jika kegetiran menghampirimu karena talak, hati ini hanya berguman, itu salah siapa?

 

Kupang, 03 Februari 2020

 

Komentar