TERTATIH DI TENGAH BADAI

 

TERTATIH DI TENGAH BADAI

Cerpen: Joni Liwu


Tuhan tidak menjanjikan

langit itu selalu biru,

bunga selalu mekar,

dan mentari selalu bersinar.

Tapi ketahuilah,

bahwa Dia selalu memberi

pelangi di setiap badai,

tawa di setiap air mata,

berkah di setiap cobaan,

dan jawaban dari setiap doa.

 

            Untaian larik berparadoks  itu masi mengiang. Belum sempat,  melihatmu tersenyum setelah berlelah. Berpeluh dalam hitungan waktu tak sebentar. Belum lagi cucur keringat ayah handa dan ibunda mengais rupiah. Setiap pagi mereka berlelah, berpacu dengan waktu. Lalu kereta-kereta tua itu diraihkan di tepi jalan. Di atasnya sedikit penganan dijajahkan, berharap pengunjung rumah sakit itu bisa melihat-lihat. Kalaupun tidak bisa menghampiri, sehingga bisa membeli penganan yang tersedia sejak dini hari. Koko ayam bersahutan semakin memacumu., agar sebelum mentari menyepu embun pagi, sebelum burung-burung bernyanyi menyambut hari baru, Ibu Nonce sudah tiba di tempat jualan, di tepi jalan samping rumah sakit itu.

            Hari berganti, ia hanya berharap se sen dua sen terkumpul seharian. Harapan selalu disemai juga dilumuri doa pagi sebelum berjualan. Di depan emperan sebuah toko, bu Nonce selalu menanti dan menanti siapa gerangan akan membeli. Itu disantunkan dalam doa berkepanjangan di kala malam selimuti tanah Timor. Ketika rasa kantuk memagutnya karena kelelahaan mengais reseki sepanjang hari.

            “Aku berharap padaMU,cita dan asa kusanjungkan dalam litani doa,” Nonci selalu merapalkan tiada henti.

 Ibunda yang hanya menamatkan pendidikan sekolah menengah ini menyadari jika di tempat itu juga berjejer minimarket-minimarket. Belum lagi pedangan asongan lainnya, yang juga  menjajahkan penganan beraneka rupa.

            Hingga di manakah lelaki itu  sekarang?  sesaat Nonci membatin.

Bu Nonce sejenak memikirkan suaminya yang saban hari mengantarnya ke pasar. Suaminya harus membawa sebagian barangan julalan, dan sebagiannya lagi oleh ibu Nonce sendiri. Keseahrian mereka harus berjibaku dengan sesama menjalin cerita tentang ikhtiar bahkan persaudaraan. Semua terjadi dengan sendirinya dari kesahajaan mereka, pedagang kecil, tak lebih dari itu.

Pasar memang dibangun untuk pedagang.Namun demikian, tidak semua pedagang bisa menyewa ruko sebagai tempat berjual. Karenanya kedua suami isteri itu hanya berharap jika emperan ruko dikhlaskan pemiliknya bagi mereka walau hanya selebar satu dua meter saja.   Mereka berdua sangat bersyukur karena, Ongko, demikian warga keturuan pemilik ruko, membiarkan kedua pasangan suami isteri itu menjajahkan dagangannya di depan tokoh tersebut.

Ibu Nonce terjaga dari tidurnya. Bunyi sirene ambulance dalam iringan kendaraan polisi meraung-raung di jalan raya. Anton suaminya, terlelap, Nahor putra semata mayangnya pun demikian. Di masa pandemi covid ini, bunyi sirene ini seperti momok. Bulu kuduk merinding, karena jasad yang dihantar ke pemakaman itu pasti jasad covid. Betapa di benaknya sekarang seperti diperhadapkan pada buah si malakama. Tidak berjualan tentu tidak bisa menyambung hidup keluarganya, belum lagi harus memenuhi kebutuhan sekolah putra mereka. Ketika berjualan, mereka berdua pun selalu waspada. Karena bu Nonce selalu menyiapkan masker.Untuk mencuci tangan Ongko sudah menyiapkan air dan sabun di depan tokohnya. Namun demikian, yang menjadi soal adalah virus yang tidak terdeksi. Bisa saja mereka berdua terjangkit dari sesama pedangan yang hari-hari ini berjibaku mengais sesen dua sen.

Pikiran ibu Nonce menerawang jauh hingga sejauh mana masa pandemi ini harus berakhir. Sesaat itu bu Nonce ke kamar mandi, lalu melihat putranya di kamar sebelah. Kedua lelaki ini sangat pulas. Bu Nonce membaringkan tubuhnya. Sesaat kemudian matanya terlelap.

Pagi ini, bu Nonce terbangun saat bunyi azan. Suara asan ini selalu membangunkan kedua suami isteri itu dan ketika itu pula mereka harus menyiapkan jualan mereka.Tidak lupa membangunkan puteranya. Suaminya sangat sibuk di tungku perapian di samping rumah. Hari ini mereka hendak berjualan nagasari, karena itu selalu mereka gunakan tungku api agar mepercepat memasaknya.

Bu Nonce menyipkan daun pisang. Kemarin ketika kembali dari pasar, suaminya sudah menyiapkan daun-daun pisang. Itu pun dimintanya dari kebun tetangga. Walau sibuk ia masih ke kamar putranya hendak membangunkan lagi anaknya.

“Nahor, sepertinya tugasmu sudah dikirim gurumu. Segera bangun dan kerjakan!,” perintahnya memelas.

            “Iya, Bu nanti kukerjakan, sahut Nahor.

            “ Jika sarapan, ada tu kue di meja,” sahut  Bu Nonce sambil bergegas menyiapkan barang julannya.

Mereka berdua kini sudah di depan emperan ruko milik Ongko. Sebelum berjualan tak lupa membersihkan halaman depan ruko. Itu selalu dikerjakan setiap pagi. Karenanya Ongko sangat berterima kasih dan iklas pula memberikan tempat di depan rukonya bagi Bu Nonce dan suaminya berjualan.

Gerimis Februari tak kunjung henti. Sejak siang hingga sore hujan tak kunjung henti. Keduanya saling memandang dalam diam.Sudah bebeara jam, belum satupun penganan mereka terjua. Sesekali Anton meraih sabu lidi yang tersadar di samping tembok. Diraihnya, ia lalu mencoba membersihkan genangan air di depan tokoh itu. Nonci hanya menatap diam. Mungkinkan suaminya hanya mengalihkan perhatian? Atau adakah guratan kesedihan karena belum sepeserpun uang di tangan mereka? Nonci beberapa saat terdiam. Ia coba mengatur kembali letak kue nagasarinya agar lebih terlihat orang yang berlalu-lalang. Namun demikian, karena gerimis tak kunjung henti, tak seorang pun pembeli menghampiri mereka. Kalau pun ada berlalu lalang di depan mereka, itu hanya membeli sayur mayur yang dijajahkan di depan mereka, tak jauh dari tempat mereka.

Kini waktu sudah jelas sore. Baru saja dua orang yang membeli kue mereka. Itu pun tidak semua. Di tangan bu Nonci hanya uang dua puluh ribu rupian.

“Ini hasil jualan kita hari ini,Pak,” Nonci menunjukkan uang itu kepada Anton.

“Jangan lupa belikan beras sekilo,” lanjut Anton sambil merapihkan tempat jualan mereka.

Dengan uang sebanyak itu, Nonci hanya cukup  membelanjakan beras saja. Untuk bahan-bahan penganan lainnya tentu saja tidak cukup. Nonci sudah kembali berbelanja beras. Anton yang menungguinya sangat cemas. Bagaimana mungkin ia bisa membeli bahan-bahan lainnya untuk membuat nagasari esok hari. Namun  ia tidak melihat kegusaran di raut wajah isterinya.

“Bu, bagaimana?” tanya Anton.

“ Sangat cukup, Pak!” jawab Nonci.

Anton seakan-akan tak percaya jika jawaban isterinya begitu tegas. Apakah mungkin isterinya masih memiliki simpanan uang di rumah? Anton terus membatin.

“ Hari ini mungkin Tuhan memberikan kita rezeki ini,” demikian Nonci kepada suaminya setekah mereka tiba di rumah.

“Kita mestinya tetap mensyukuri nafkah kita hari ini. Betapapun kecil penghasilan, Tuhan rezeki berlimpah tentu pada hal yang lain,” lanjut Nonci  kepada Anton.

Anton semakin tidak mengerti perkataan isterinya. Ia merasa sangat bersalah sebagai pencari nafkah tetapi yang terjadi isterinya harus turut serta mengambil bagian yang menjadi tanggung jawabnya. Ia merasa berdosa. Ia diam seribu bahasa. Tidak biasanya penghasilannya mereka seperti ini. Tiba-tiba Nonci memegang telapak tangannya. Nonci merasakan sesuatu yang dipikirkan Anton.

“Bapak, sesutau yang berharga dari Tuhan itu adalah kesehatan. Bapak sehat, saya sehat, dna Nahor pun sehat. Bukankah itu kebih berharga?” nasehat Nonci., “Jika hari ini kita belum memilki cukupa uang, Tuhan  masih memberikan kesempatan esok pun lusa.”

Anton hanya melihat ketegaran hati Nonci dari tatapannya. Ia tak sanggup memberi sebagian tanggung jawab itu kepada isterinya. Tetapi ia sangat bersykur jika isterinya sangat memahami kondisi kehidupa keluarganya. Bisanya ia melakoni kehidupan dengan menjadi buruh bangunan. Penghasilannya cukup untuk kehidupan mereka sebulan. Pandemi covid yang hampur setahun tak sedikit pun  menyediakan pekerjaan itu. Ia harus melakoni pekerjaan sebagai penjual kue karena hanya itu yang bisa dilakukan.

“Bu, saya mohon maaf untuk keadaan ini,” kata Anton. Semoga pandemi ini cepat berlalu.

Mentari senja yang kian jauh ke oerut bumi tak meninggalkan sedikitpun sinarnya. Malam telah membalut bumi hingga tersisa kelam. Keluarga ini akan terus melakoni hidup di tengah masa yang mengancam keselamatan raga. Hingga di titik ini pun mereka tetap berikhtian. Mereka selalu meyakni bahwa Tuhan selalu memberi pelangi di setiap badai. Bahkan mereka bisa selalu tersenyum walau meneteskan air mata pada doa di tengah malam khusuk. Mereka meyakin, Tuhan kan memberi jawaban di setiap cobaan yang tek melebih kemampuan mereka. ***

 

Komentar